RSS

MAHASISWA -riwajatmoe-

Dinamika pergerakan mahasiswa selalu menjadi lokus utama dalam kajian selama beberapa dasawarsa. Kajian tersebut tidak hanya lahir dari kalangan akademis kampus, tapi juga menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat secara luas dalam mengamati gerak implementasi fungsi mahasiswa secara social kebangsaan.
Pra dan pasca terjadinya reformasi, isu tersebut tetap bahkan semakin menjadi isu sentral. Hal ini disebabkan karena persoalan pergerakan kemahasiswaan menyangkut skop kenegaraan. Apalagi dinamika pergerakan kemahasiswaan selama ini diklaim bertanggungjawab besar terhadap naik turunnya stabilitas dan kondisi bangsa.
Benarkah demikian? Benarkah klaim – klaim sejarah yang selama ini diperdengarkan oleh senior – senior melalui forum – forum diskusi entah diskusi formal maupun diskusi lepas? Jika seandainya hal tersebut benar, maka tentunya akan memunculkan pertanyaan lain. Bagaimana dengan mahasiswa hari ini?
Berangkat dari beberapa hal yang patut direfleksikan diatas, maka muncul ketertarikan saya untuk mengangkat kembali wacana pergerakan kemahasiswaan. Wacana yang mungkin sudah dianggap basi oleh beberapa atau hampir sebagian besar kalangan. Namun, terlepas dari hal tersebut, wacana ini tetap perlu mendapat perhatian tersendiri. Jarang sekali kita –mahasiswa khususnya- meluangkan waktu untuk memikirkan hal ini. Sehingga kelemahan – kelemahan konsep ataupun metode gerakan sering terlupakan untuk dipikirkan. Terkadang hal inilah yang membuat gerakan mahasiswa menjadi begitu terlihat apa adanya, sementara permasalahan kebangsaan tidak sedang apa adanya.
Pergerakan mahasiswa dalam mengawal kemerdekaan pada umunya, dan dalam mengawal reformasi pada khsususnya bukan merupakan sebuah wacana baru lagi, apalagi jika kita berbicara dalam konteks iklim akademis dunia kampus.
Orang – orang, pada umumya dalam menafsirkan, ada beberapa fase terkait cara pandang kita melihat lalu kemudian berusaha memaknai gerakan mahasiswa. Fase pertama, yakni ketika orang tersebut belum berstatus mahasiswa –masih berstatus sebagai siswa- dan sebagian besar masyarakat yakni mereka melihat pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut sebagai sebuah tingkah laku yang amat menjijikkan (kalaupun ada yang berpikiran lain, paling tidak hanya menganggapnya sebagai sesuatu yang terlihat “keren” tanpa tahu alasan rasional yang mendasarinya). Mengapa demikian? Karena penilaian yang diberikan selalu berdasarkan melihat gerakan mahasiswa hanya sebesar layar televisi, apa yang dicitrakan media terhadap gerakan mahasiswa yang anarkis, radikal, dan sangat tidak bertanggungjawab akan membuat khalayak umum mengelus dada dan sebagian lagi memaksa mereka melemparkan ludah ketanah sambil bertanya “inikah mahasiswa, generasi masa depan yang pastinya akan lebih bobrok daripada  sekarang??” atau sesekali memberi celotehan ringan “betapa meruginya orangtua anak – anak ini, disekolahkan tinggi – tinggi, hanya mampu merusak fasilitas negara.’ Atau yang paling sering keluar dari mulut para calon mahasiswa –yang masih berada pada tingkat sekolah menengah atas atau sederajatnya- yaitu “ihh,, ngerinya.. saya tidak mau seperti mereka ketika menjadi mahasiswa nanti!!” atau yang paling ekstrim “saya tidak mau menjadi mahasiswa saja, ketika menjadi mahasiswa samadengan menjadi seperti mereka”. Nah, di fase selanjutnya, ketika sudah terjun dalam dunia kampus dengan status mahasiswa –apalagi ketika mereka mulai dimobilisasi dalam bentuk pengaderan (yang tidak cukup mendidik)- diarahkan oleh sebuah system baru untuk terjun penuh gelora membara (dalam bentuk turun kejalan) menyuarakan (mungkin) asiprasi rakyat, dengan hegemoni “nikmat”nya turun kejalan –berteriak, terlihat keren ketika membakar ban, sambil sesekali melempari batu kepada oknum yang dilabeli sebagai lawan pergerakannya- akan menciptakan pandangan lain lagi bahwa dunia mahasiswa samadengan dunia turun kejalan, nikmat.
Fase ketiga, fase dimana orang – orang tidak lagi sekedar melihat aneka macam gerakan mahasiswa lalu kemudian menyimpulkan sekenanya saja, tidak sekedar berkoar – koar lalu mengatakan turun kejalan itu merupakan kenikmatan tertinggi menjadi mahasiswa, tetapi di fase ini menuntut kematangan, kedewasaan untuk memaknai, merefleksikan, dan semampu mungkin merevitalisasi segala kekurangan dari bentuk – bentuk gerakan mahasiswa yang sebelumnya untuk kembali menemukan formula baru yang tepat dan lebih solutif dalam menjawab problematika kebangsaan disamping memang utnuk menjalankan fungsi kemahasiswaan kita.  Di fase ini, kejijikan terhadap gerakan kemahasiswaan yang selalu dipertontonkan selama ini. Kejijikan itu bukan kejijikan seperti pada fase pertama. Melainkan bentuk kejijikan akibat kejenuhan dengan cara – cara lama, sehingga orang – orang pada fase ini akan berusaha mencari dan menemukan metode gerakan lain yang tidak terjebak pada gerakan anarkis, pragmatis, dan sebagainya. Namun sayangnya, hanya sebagian kecil orang yang berusaha untuk sampai pada fase ini, dan sebagian besar lainnya hanya tetap pada fase kedua atau lebih memilih untuk berhenti memikirkannya.
Berkaca dari ketiga fase yang saya paparkan sebelumnya, saya kira ini pula yang terjadi pada generasi muda di Makassar. Khusus pada fase kedua, dimana generasi muda berstatus mahasiswa memaknai gerakan – gerakan yang mereka sebut sebagai gerakan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan kaum lemah yang siap untuk mereka bela, kebanyakan gerakan mahasiswa di Makassar yang terlihat pun tidak jauh dari itu, masih dalam fase itu. Paradigma lama bahwa gerakan mahasiswa samadengan (sebatas) gerakan beramai – ramai turun kejalan masih cukup terpasang sangat rapi dalam pahaman sebagian besar mahasiswa Makassar akibatnya metode yang digunakan pun masih metode – metode lama sementara penyakit – penyakit dalam masyarakat yang ingin dicarikan obat penawarnya semakin beragam.
Citra orang Makassar itu keras dan gerakan mahasiswa Makassar itu sendiri anarkis semakin melekat saja (tidak lepas dari campur tangan media dan beberapa gerakan – gerakan tidak jelas yang memang dirancang untuk terlihat seperti itu). Menilik kebelakang, pasca meletusnya hasrat kebebasan yang telah lama dikungkung oleh era pemerintahan orde baru  dan penyimpangan – penyimpangan pemerintahan orde baru dalam bentuk aksi besar – besaran (hampir) seluruh elemen masyarakat –bukan hanya mahasiswa-, yang berhasil menggulingkan rezim waktu itu dan merebut kembali kebebasan yang telah lama dicita – citakan. Nah pertanyaan sekarang, apakah bonus kebebasan yang kita miliki hari ini telah mampu kita manfaatkan sebaik mungkin dalam menekan segala bentuk kebijakan pemerintah yang dinilai tidak bijak, ataukah kita justru kembali tertidur tanpa daya kreasi dan cenderung memilih menggunakan jubah – jubah lama ketika momen untuk turun kejalan datang, dan kembali tertidur ketika momen itu berlalu? Apakah hanya sebatas itu? Ini yang harus direfleksikan.
Jika benar kondisi itu yang terjadi pada pergerakan mahasiswa kita -pada umunya-, dan pergerakan mahasiswa Makassar -pada khususnya-, maka sebagai orang yang percaya pada prinsip kausalitas, saya percaya bahwa menurunnya daya kreasi gerakan mahasiswa dan gerakan mahasiswa Makassar hari ini tidak akan terjadi tanpa suatu sebab.
Mencoba memaknai tulisan Tentang Kemiskinan Hidup Mahasiswa karya Mustapha Khayati (seorang situationist international) bersama mahasiswa – mahasiswa di Strasbourg (November 1966), dalam tulisan itu dikatakan bahwa universitas dan mahasiswa itu sendiri turut ambil andil .
Pertama,  mahasiwa. Dikatakan bahwa mahasiswa merupakan budak – budak yang sabar; dimana semakin banyak rantai ototritas yang mengikat mereka, semakin mereka merasa bebas. Mereka beranggapan bahwa mereka adalah sosok – sosok yang paling independen padahal pada kenyataannya mereka secara langsung dan sukarela justru bersikap patuh dan penurut pada dua system otoritas social yang paling kuat yakni keluarga dan negara (Mustapha Khayati 1966). Selain itu, dalam rangka interaksi sehari – hari sebagai mahasiswa, sebuah doktrin (arogansi) status mulai ditanamkan dari generasi ke generasi dalam berbagai bentuk (pengaderan, diskusi kantin, demonstrask, bahkan dalam celoteh – celoteh ringan lainnya), doktrin itu berbunyi bahwa kita-lah, mahasiswa, sebagai pelaku perubahan. Perubahan tak terjadi tanpa mahasiswa. Hidup mahasiswa !! sementara transformasi nilai tidak dilakukan.
Yang amat mengerikan kemudian, ketika doktrin itu betul – betul dimaknai lain dalam bentuk pengukuhan arogansi mahasiswa yang tak tertandingi. Ia akan menjadi penyakit baru, melihat masyarakat bukan lagi sebagai rekan seperjuangan, buruh tani nelayan bukan lagi sebagai saudara serasa, melainkan ia bergerak dengan caranya sendiri tanpa upaya mendapat simpati dari rekan seperjuangan dan saudara serasanya itu agar bisa bergerak bersama – sama. Inilah yang biasanya menyebabkan gerakan mahasiswa turun kejalan menjadi kacau hingga mereka sendiri tak tau bentuk awalnya, ditambah lagi jika sebagian dari mereka hanya mengikut agar terlihat keren atau agar dipuji teman dan dibanggakan senior kampusnya tanpa tahu substansi turun kejalan itu untuk apa sebagai alasan yang lebih ideologis.
Salah satu wujud lain dari arogansi mahasiswa hari ini, selain arogansi terhadap status kemahasiswaan tanpa pemahaman terhadap nilai bermahasiswa, mahasiswa juga terjebak pada arogansi sectarian kelembagaan masing – masing. Akibatnya, ketika turun keranah praksis gerakan, mahasiswa cenderung saling sikut – sikutan dengan bendera organisasi masing – masing, sehingga tujuan gerakannya pun kurang ideologis lagi, orientasi lain lebih memboncengi. Hal ini dapat pula mengakibatkan gerakan mahasiswa menjadi semakin kocar – kacir dan bisa berujung pada aksi saling merugikan antarorganisasi.
Tak cukup sampai disitu, untuk mahasiswa yang mungkin sudah agak memiliki banyak pengalaman turun kejalan, dan memiliki tingkat pemahaman yang lebih dari pada junior – junior mereka, namun sayangnya dikemudian hari mereka menjadi idealis kompromis, mereka dengan mudah memposisikan dirinya dalam aturan -  aturan yang amat menyedihkan yang didesain untuk mengontrol lebih banyak lagi mahasiswa – mahasiswa biasa dan mereka mampu melakukannya dengan tepat karena mereka tahu system yang dulunya sering mereka lakukan pula. (Mustapha Khayati 1966)
Kedua, universitas. System pendidikan yang sangat mekanikal telah membawa perubahan fungsi universitas itu sendiri. Universitas menjelma tak ubahnya dengan pabrik – pabrik penghasil roti untuk dibawa kedunia pasar. Begitupun dengan mahasiswa, dunia kuliah tak ubahnya dunia kursus. Belajar dengan waktu yang telah ditentukan kemudian keluar dengan sertifikat, lalu siap melamar kerja kesana – kemari, kemudian datang generasi calon “roti – roti” selanjutnya. Ia tidak diberi cukup waktu untuk memikirkan bagaimana metode lain untukmenyelamatkan rakyat yang tidak punya pekerjaan, bagaimana cara yang paling solutif untuk menentang kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM diantara jeritan kelaparan rakyat, atau setidaknya bagaimana melakukan transformasi nilai kepada teman – teman, adik – adik mahasiswa lainnya agar tidak kehilangan identitas diantara gemerlap dunia kampus dan tatanan kehidupan yang semakin gila, bagaimana membuat penelitian menjadi tulisan bermanfaat yang siap untuk dikonsumsi guna membuat “kenyang” pemikiran masyarakat. Tidak ada waktu untuk itu. Mahasiswa seolah terjepit diantara system pendidikan, tugas – tugas kuliah dan kondisi tuntutan keluarga yang kadang sangat mekanistik pula.
Inilah realita, realita untuk kondisi kemahasiswaan kita, realita untuk kondisi gerakan kemahasiswaan kita khususnya pula di Makassar. Perlu solusi cerdas dan lebih inovatif untuk itu.
Tanpa bermaksud untuk melupakan penyebab dari lumpuhnya gerakan mahasiswa kita hari ini, setidaknya ada dua gambaran umum yang dapat kita tarik dari citra yang terbentuk mengenai gerakan mahasiswa belakangan ini yakni momentuman, monoton dan cenderung kuno, pragmatis, dan terkadang anarkis.
Setidaknya diperlukan sebuah pencerahan dan perhatian yang serius terhadap hal ini. Penghayatan kembali terkait identitas dan nilai – nilai kemahasiswaan tanpa upaya doktrinasi kearogansian (lebih realistis tanpa meninggalkan idealitasnya, dan tanpa berusaha melakukan penyembunyian fakta sejarah demi menyalakan gelora bermahasiswa baru), budaya diskusi dsb harus dihidupkan kembali. Penyempitan makna gerakan social harus diredefinisi. Sehingga berbagai metode gerakan social –selain turun kejalan- seperti berdiskusi, lewat tulisan, pemanfaatan jejaring social dan segala macamnya dapat dimaksimalkan. Tertarik dengan sebuah pernyataan yang berbunyi bahwa “ketika dunia menindas kita dengan berbagai macam cara, maka kita pun harus melawannya dengan berbagai macam cara pula”. Dan menurut saya gerakan yang bersifat ideologis adalah gerakan yang mampu menjadi langkah yang paling solutif. Gerakan ideologis bersifat tanpa akhir sehingga tidak akan terjebak pada penyaki baru gerakan social hari ini, yakni momentuman. Oleh sebab itu, khusus untuk gerakan kemahasiswaan, gerakan tersebut harus ditanamkan baik – baik dalam setiap pola pengaderan dan transformasi nilai. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tidak tau kenapa ada di flashdisk kuu. :)


Aristoteles adalah murid Plato, filsuf terkenal dari zaman Yunani Kuno. Kala itu, di Yunani dikenal Kaum Sophie yang mengajarkan cara berbicara atau berorasi kepada orang-orang awam, pengacara, serta para politisi. Plato sendiri banyak menyindir perilaku Kaum Sophie ini karena menurutnya orasi yang mereka ajarkan itu miskin teori, dan terkesan dangkal.

Aristoteles berpendapat bahwa retorika itu sendiri sebenarnya bersifat netral. Maksudnya adalah orator itu sendiri bisa memiliki tujuan yang mulia atau justru hanya menyebarkan omongan yang gombal atau bahkan dusta belaka. Menurutnya, “…by using these justly one would do the greatest good, and unjustly, the greatest harm” (1991: 35). Aristoteles masih percaya bahwa moralitas adalah yang paling utama dalam retorika. Akan tetapi dia juga menyatakan bahwa retorika adalah seni. Retorika yang sukses adalah yang mampu memenuhi dua unsur, yaitu kebijaksanaan (wisdom) dan kemampuan dalam mengolah kata-kata (eloquence).

Rethoric, salah satu karya terbesar Aristoteles, banyak dilihat sebagai studi tentang psikologi khalayak yang sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu membawa retorika menjadi sebuah ilmu, dengan cara secara sistematis menyelidiki efek dari pembicara, orasi, serta audiensnya. Orator sendiri dilihat oleh Aristoteles sebagai orang yang menggunakan pengetahuannya sebagai seni. Jadi, orasi atau retorika adalah seni berorasi.

Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai komunikasi ‘persuasif’, meskipun dia tidak menyebutkan hal ini secara tegas. Meskipun begitu, dia menekankan bahwa retorika adalah komunikasi yang sangat menghindari metode yang kohersif.

Aristoteles kemudian menyebutkan tentang klasifikasi tiga kondisi audiens dalam studi retorika. Klasifikasi yang pertama adalah courtroom speaking, yaitu yang dicontohkan dengan situasi ketika hakim sedang menimbang untuk memutuskan tersangka bersalah atau tidak bersalah dalam suatu sidang peradilan. Ketika seorang Penuntut dan Pembela beradu argumentasi dalam persidangan tersebut, maka keduanya telah melakukan judicial rethoric.

Yang kedua adalah political speaking, yang bertujuan untuk mempengaruhi legislator atau pemilih untuk ikut serta dalam pilihan politik tertentu. Debat dalam kampanye termasuk dalam kategori ini. Sedangkan yang ketiga adalah ceremonial speaking, di mana yang dilakukan adalah upaya mendapatkan sanjungan atau menyalahkan pihak lain guna mendapatkan perhatian dari khalayak. Mungkin yang masuk kategori ini semacam tabligh akbar atau sejenisnya.

Karena muridnya terbiasa dengan metode dialectic Socrates, yaitu metode diskusi tanya-jawab, one-on-one discussion, maka Aristoteles menyebutkan retorika adalah kebalikannya. Retorika adalah diksusi dari satu orang kepada banyak orang. Jika dialectic adalah upaya untuk mencari kebenaran, maka retorika mencoba menunjukkan kebenaran yang telah diketemukan sebelumnya. Dialectic menjawab pertanyaan filosofis yang umum, retorika hanya fokus pada satu hal saja. Dialectic berurusan dengan kepastian, sedang retorika berurusan dengan probabilitas (kemungkinan). Menurutnya, retorika adalah seni untuk mengungkapkan suatu kebenaran kepada khalayak yang belum yakin sepenuhnya terhadap kebenaran tersebut, dengan cara yang paling cocok atau sesuai.

Menurut Aristoteles, kualitas persuasi dari retorika bergantung kepada tiga aspek pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos). Pembuktian logika berangkat dari argumentasi pembicara atau orator itu sendiri, pembuktian etis dilihat dari bagaimana karakter dari orator terungkap melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam orasi, dan pembuktian emosional dapat dirasakan dari bagaimana transmisi perasaan dari orator mampu tersampaikan kepada khalayaknya.

Aristoteles mengutarakan tentang dua konsep pembuktian logis (logical proof), yakni enthymeme dan example (contoh). Enthymeme sendiri adalah semacam silogisme yang belum sempurna. Berikut ini contohnya:

Premis mayor : Semua manusia memiliki derajat yang sama

Premis minor : Saya adalah manusia

Konklusi : Maka saya memiliki derajat yang sama

Dalam entymeme, biasanya hanya menggunakan premis “semua manusia memiliki derajat yang sama dengan manusia yang lain…..Saya memiliki derajat yang sama”, tanpa perlu menggunakan premis “saya adalah manusia”.

Entymeme ini digunakan dengan tujuan agar khalayak menggunakan kerangka logika tertentu, sehingga mereka semacam diberikan ‘ruang’ untuk menafsirkan premis yang digunakan dalam silogisme yang dimaksud oleh orator tadi. Dengan memberikan ‘ruang’ tadi pada dasarnya khalayak digiring untuk menggunakan cara berpikir yang sama dengan apa yang dipikirkan oleh orator. Sejauh orasi yang digunakan dapat masuk ke dalam logika khalayak tadi, maka pembuktian logis dari orasi yang dilakukan akan terasa cukup efektif.

Enthymeme kemudian diperkuat dengan example atau contoh. Jika enthymeme digunakan sebagai pembentuk logika atau kerangka berpikir, maka contoh dipakai untuk memperkuat pembuktian dengan detail contoh-contoh dari pemikiran yang dimaksudkan sebelumnya.

Pembuktian etis (ethical proof) menurut Aristoteles berpulang kepada kredibilitas dari orator tersebut. Retorika yang baik tidak hanya mengandalkan kata-kata yang baik semata, melainkan bahwa oratornya sendiri juga harus ‘terlihat’ memiliki kredibilitas. Karena seringkali khalayak sudah cukup terpesona kepada seseorang, bahkan sebelum orang tersebut berpidato atau berorasi. Sebelum kata-kata keluar dari mulut orang tersebut.

Dalam Rethoric, Aristoteles menyebutkan tentang tiga sumber kredibilitas yang baik, yaitu intelligence, character, dan goodwill.

Intelligence atau kecerdasan lebih kepada persoalan kebijaksanaan dan kemampuan dalam berbagi nilai atau kepercayaan antara orator dengan khalayaknya. Maksudnya adalah khalayak seringkali menilai bahwa orator tersebut ‘cerdas’ adalah sejauh mana mereka sepakat atau memiliki kesamaan pemikiran, cara berpikir, atau ide dengan orator tersebut. Orator yang cerdas, oleh karenanya mampu menyesuaikan diri atau mampu membaca cara berpikir khalayaknya, untuk kemudian disesuaikan dengan cara berpikirnya.

Character lebih kepada citra orator sebagai orang yang baik dan orang yang jujur. Jika seorang orator mampu memiliki citra sebagai orang yang baik dan jujur, apapun kata-kata yang disampaikan dalam orasinya maka khalayak cenderung lebih mudah untuk percaya. Begitu pula sebaliknya, jika orator yang bersangkutan memiliki citra yang kurang baik maka sebaik apapun kata-kata yang disampaikannya khalayak sulit untuk percaya.

Good will atau niat baik, adalah penilaian positif yang coba ditularkan oleh orator kepada khalayaknya. Seorang orator mungkin mampu memperlihatkan kecerdasannya, menunjukkan karakter kepribadiannya, akan tetapi belum tentu mampu ‘menyentuh hati’ khalayaknya. Niat baik ini biasanya dapat dirasakan oleh hati khalayak.

Pembuktian emosional (emotional proof). Di sini orator dituntut untuk mampu menyesuaikan suasana emosional yang ingin dicapai dalam sebuah orasi. Orator yang cerdas mampu mengendalikan suasana emosi yang diinginkan, bukan apa yang diinginkan khalayak, akan tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh orator itu sendiri. Dengan mengetahui karakteristik khalayak, pemahaman yang mendalam terhadap berbagai macam karakter emosi, diharapkan retorika yang dilakukan dapat berjalan efektif.

Walaupun banyak ilmuwan menyatakan bahwa sebenarnya pemikiran Aristoteles tentang retorika itu rumit, mereka kemudian menyederhanakan pemikiran tersebut ke dalam empat konsep tentang bagaimana mengukur kualitas seorang orator yang baik. Keempat hal tersebut adalah bagaimana menciptakan argumentasi (invention), menyusun bahan-bahan atau materi argumentasi (arrangement), pemilihan bahasa (style), dan bagaimana teknik penyampaiannya (tecniques of delivery).

Untuk menciptakan argumentasi yang baik, orator dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas, kemampuan penalaran dan logika yang baik dalam berbagai macam bentuk pembicaraan. Penguasaan terhadap berbagai macam topik, isu, informasi, data, dan sejenisnya, dapat dijadikan sebagai memori yang setiap saat mampu dibentuk menjadi argumentasi ketika orasi dilakukan. Semakin banyak memori yang dimiliki maka akan semakin mudah untuk menciptakan argumentasi yang baik.

Aristoteles mengingatkan tentang pentingnya penyusunan atau pentahapan argumentasi itu sendiri. Menurutnya, pada awal-awal orasi baiknya adalah sebagai upaya untuk menarik perhatian dari khalayak, menjaga kredibilitas, dan kemudian memperjelas maksud atau tujuan dari pembicaraan atau orasi itu sendiri. Yang terakhir adalah konklusi, yang sebaiknya adalah mengupayakan bagaimana khalayak akan selalu mengingat apa-apa yang telah kita katakan, dan kita meninggalkan khalayak dengan citra yang positif tentang diri kita dan ide-ide yang telah kita sampaikan kepada mereka.

Style atau gaya bicara adalah tentang bagaimana kemapuan seorang orator menggunakan cara atau gaya bicara tertentu. Gaya bicara ini ibarat karakteristik si orator itu sendiri. Ada orator yang bagus karena dinilai memiliki gaya orasi yang unik, menarik, dan bukan tentang kata-kata apa yang disampaikannya.

Style ini juga terkait erat dengan cara penyampaian kata-kata atau argumentasi kepada khalayak. Cara penyampaian yang menarik adalah hal yang penting dalam sebuah orasi. Karena seringkali kefektifan orasi dilihat dari sejauh mana khalayak menilai cara bicara atau cara orasi orang tersebut menarik atau tidak. Mengenai apa yang disampaikannnya itu menjadi hal yang berikutnya.

Para pengkritik terhadap teori retorika Aristoteles ini mengatakan bahwa kesalahan terbesar di sini adalah audiens atau khalayak dianggap pasif. Orator menurut Aristoteles dianggap akan selalu mampu menyampaikan apa-apa yang dimaksudkannya kepada khalayak sejauh mereka mengikuti anjuran-anjuran Aristoteles tersebut. Ada faktor yang penting yang terlupa oleh Aristoteles, yaitu situasi. Padahal faktor ini adalah salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam praktek retorika itu sendiri.

Di luar itu semua, teori retorika ini memang banyak dinilai memadai jika dilihat sebagai landasan dalam studi dan praktek retorika. Tentunya seiring masa perlu dilakukan beragai macam penyesuaian dan semacamnya. Akan tetapi yang terpenting dari itu semua bahwa retorika atau komunikasi secama umum pada dasarnya adalah seni, sehingga tidak akan mampu untuk terbakukan dalam bentuk-bentuk aturan apapun. Seringnya, semuanya berpulang kepada manusia itu sendiri.

Daftar Pustaka:

Griffin, Emory A., A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York: McGraw-Hill, 2003, p.303—311

Bacaan lebih lanjut:

Aristotle, On Rethoric: A Theory of Civil Discourse, George A. Kennedy (ed. And trans.), Oxford University, New York,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KABAR DARI KORBAN LUMPUR LAPINDO

Tanggal 29 Mei 2006, penduduk Porong Sidoarjo Jawa Timur dikejutkan dengan semburan lumpur dari pusat pengeboran yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Inilah merupakan titik semburan lumpur pertama yang terjadi, dan kemudian pada tanggal 1 Juni 2006 muncul titik semburan kedua, dan semburan tersebut terus berlanjut sampai semuanya berjumlah 61 titik semburan. Di mana dari 61 titik semburan, 37 diantaranya sudah mati.

Lebih jauh berdasarkan hasil penelitin Dr. Ir Rubi Rubiandini menyimpulkan bahwa semburan disebabkan tekanan yang terjadi selama penaggulangan masalah kick melebihi MASP, sehingga mampu meretakan batuan yang kebetulan belum ditutup pipa pelindung casing. Ketiadaan casing dan kejadian kick inilah yang menyebabkan cairan di dalam lubang bor yang ditutup BOP meretakan batuan, dan mengalir ke permukaan melalui retakan yang terbentuk. Di lain pihak, kesulitan dalam penanggulangan makin dipersulit dengan perginya peralatan pemboran (rig), yang seharusnya tetap di tempat untuk menanggulangi semburan sampai tuntas.

Sejak semburan lumpur panas tersebut di atas, penduduk 11 desa pada 3 kecamatan di Kabupaten Sidoarjo harus mengungsi, meninggalkan kampungnya karena tergenang lumpur panas lapindo. Sekitar 49 ribu warga harus menghadapi dampak semburan lumpur panas Lapindo. Ganti rugi untuk pengungsi yang jumlahnya lebih dari 24 ribu orang, juga tak kunjung selesai, pemulihan sosial ekonomi semakin sulit dilakukan. Luapan lumpur panas itu juga berdampak terhadap hilangnya mata pencaharian warga yang tinggal di desa-desa yang digenangi oleh lumpur panas Lapindo.

Lima tahun berlalu. Tiba – tiba statmen Wakil Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Widjajono Partowidagdo di salah satu media massa yang terbit di Jakarta yang mempersilahkan kepada Group Bakrie (Lapindo) kembali melanjutkan eksplorasi minyak dan gas (migas) di Sidoarjo menuai kontrofersi. Seperti pada kasus statmen controversial wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana terkait moratorium remisi bagi pelaku korupsi yang dilontarkannya baru – baru ini pun seperti mengulang cerita serupa.

Keresahan masyarakat mendengar pernyataan dari mulut Wakil Menteri ESDM tersebut disebabkan oleh Bapak Wakil Menteri ESDM sepertinya sudah lupa atas penderitaan panjang korban lumpur di Porong, Sidoarjo. Memang, pada pernyataannya, beliau mensyaratkan tawaran untuk melanjutkan pengeboran itu jika pembayaran tanah ke masyarakat sudah beres. Namun, dengan pernyataan seperti itu Bapak Wakil Menteri ESDM mereduksi persoalan semburan lumpur hanya sekedar persoalan hilangnya tanah dan rumah. Bapak Wakil Menteri ESDM seperti menutup mata atas dampak buruk semburan lumpur terhadap kesehatan, lingkungan hidup dan sosial. Bapak Wakil Menteri ESDM seperti menutup mata bahwa pada April 2011 lalu ada seorang bayi usia 3,5 bulan yang meninggal dunia karena diduga kuat terlalu banyak menghirup gas beracun dari lumpur Lapindo. Pak Wakil Menteri ESDM seperti menutup mata bahwa semburan gas liar yang mudah terbakar di Porong, Sidoarjo juga telah menelan korban.

Tragedi semburan lumpur di Sidoarjo telah berlangsung selama 5 tahun lebih. Dan waktu 5 tahun itu adalah waktu yang sangat panjang bagi warga Porong, Sidoarjo untuk terus menderita. Sehingga rakyat Indonesia sebagai warga negara pembayar pajak, yang dari uang pajak itu digunakan untuk menggaji pejabat, berharap Wakil Menteri ESDM tidak lagi membuat pernyataan yang menambah luka di hati korban lumpur. Jangan sampai kemudian ke(tidak)bijakan tersebut memang sengaja dibuat dengan melupakan aspek etis terkait penderitaan selama bertahun – tahun warga Sidoarjo.

Selain itu, keraguan masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam penanganan kasus ini disebabkan karena selama ini kasus tersebut seolah – olah telah terbiarkan selama bertahun – tahun oleh pemerintah. Padahal dampak semburan lumpur tersebut telah menelan banyak korban dan mengakibatkan banyak kerugian baik secara materi maupun berdampak pada psikologi masyarakat.

Ditambah lagi dengan keluarnya statmen kontrofersial oleh Sang Wakil Menteri semakin membuat masyarakat tercengang bahwa betapa mereka memang kurang diperhatikan. Ketakutan masyarakat bahwa jangan sampai ada permainan politik yang bermain disini. Permainan politik bagi keuntungan satu dua atau sekelompok orang, sementara nasib rakyat terabaikan. Padahal, secara konstitusional setiap negara wajib dan terikat dengan penyelenggaraan jaminan sosial yang berdasarkan UU jaminan sosial untuk mensejahterakan rakyat. Kesejahteraan rakyat adalah suatu kondisi tercapainya jaminan sosial-ekonomi (social-economic security) yang berdasarkan pada asas-asas kemanusiaan, manfaat dan keadilan untuk mewujudkan Negara kesejahteraan (welfare state). Sangat kontradiktif dengan kenyataan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS