Dinamika pergerakan mahasiswa selalu
menjadi lokus utama dalam kajian selama beberapa dasawarsa. Kajian tersebut
tidak hanya lahir dari kalangan akademis kampus, tapi juga menjadi perhatian
pemerintah dan masyarakat secara luas dalam mengamati gerak implementasi fungsi
mahasiswa secara social kebangsaan.
Pra dan pasca terjadinya reformasi,
isu tersebut tetap bahkan semakin menjadi isu sentral. Hal ini disebabkan
karena persoalan pergerakan kemahasiswaan menyangkut skop kenegaraan. Apalagi
dinamika pergerakan kemahasiswaan selama ini diklaim bertanggungjawab besar
terhadap naik turunnya stabilitas dan kondisi bangsa.
Benarkah demikian? Benarkah klaim –
klaim sejarah yang selama ini diperdengarkan oleh senior – senior melalui forum
– forum diskusi entah diskusi formal maupun diskusi lepas? Jika seandainya hal
tersebut benar, maka tentunya akan memunculkan pertanyaan lain. Bagaimana
dengan mahasiswa hari ini?
Berangkat dari beberapa hal yang patut
direfleksikan diatas, maka muncul ketertarikan saya untuk mengangkat kembali
wacana pergerakan kemahasiswaan. Wacana yang mungkin sudah dianggap basi oleh
beberapa atau hampir sebagian besar kalangan. Namun, terlepas dari hal
tersebut, wacana ini tetap perlu mendapat perhatian tersendiri. Jarang sekali
kita –mahasiswa khususnya- meluangkan waktu untuk memikirkan hal ini. Sehingga
kelemahan – kelemahan konsep ataupun metode gerakan sering terlupakan untuk
dipikirkan. Terkadang hal inilah yang membuat gerakan mahasiswa menjadi begitu
terlihat apa adanya, sementara permasalahan kebangsaan tidak sedang apa adanya.
Pergerakan
mahasiswa dalam mengawal kemerdekaan pada umunya, dan dalam mengawal reformasi
pada khsususnya bukan merupakan sebuah wacana baru lagi, apalagi jika kita
berbicara dalam konteks iklim akademis dunia kampus.
Orang – orang,
pada umumya dalam menafsirkan, ada beberapa fase terkait cara pandang kita
melihat lalu kemudian berusaha memaknai gerakan mahasiswa. Fase pertama, yakni
ketika orang tersebut belum berstatus mahasiswa –masih berstatus sebagai siswa-
dan sebagian besar masyarakat yakni mereka melihat pergerakan yang dilakukan
oleh mahasiswa tersebut sebagai sebuah tingkah laku yang amat menjijikkan
(kalaupun ada yang berpikiran lain, paling tidak hanya menganggapnya sebagai
sesuatu yang terlihat “keren” tanpa tahu alasan rasional yang mendasarinya).
Mengapa demikian? Karena penilaian yang diberikan selalu berdasarkan melihat
gerakan mahasiswa hanya sebesar layar televisi, apa yang dicitrakan media
terhadap gerakan mahasiswa yang anarkis, radikal, dan sangat tidak
bertanggungjawab akan membuat khalayak umum mengelus dada dan sebagian lagi
memaksa mereka melemparkan ludah ketanah sambil bertanya “inikah mahasiswa,
generasi masa depan yang pastinya akan lebih bobrok daripada sekarang??” atau sesekali memberi celotehan
ringan “betapa meruginya orangtua anak – anak ini, disekolahkan tinggi – tinggi,
hanya mampu merusak fasilitas negara.’ Atau yang paling sering keluar dari
mulut para calon mahasiswa –yang masih berada pada tingkat sekolah menengah
atas atau sederajatnya- yaitu “ihh,, ngerinya.. saya tidak mau seperti mereka
ketika menjadi mahasiswa nanti!!” atau yang paling ekstrim “saya tidak mau
menjadi mahasiswa saja, ketika menjadi mahasiswa samadengan menjadi seperti
mereka”. Nah, di fase selanjutnya, ketika sudah terjun dalam dunia kampus
dengan status mahasiswa –apalagi ketika mereka mulai dimobilisasi dalam bentuk
pengaderan (yang tidak cukup mendidik)- diarahkan oleh sebuah system baru untuk
terjun penuh gelora membara (dalam bentuk turun kejalan) menyuarakan (mungkin)
asiprasi rakyat, dengan hegemoni “nikmat”nya turun kejalan –berteriak, terlihat
keren ketika membakar ban, sambil sesekali melempari batu kepada oknum yang
dilabeli sebagai lawan pergerakannya- akan menciptakan pandangan lain lagi
bahwa dunia mahasiswa samadengan dunia turun kejalan, nikmat.
Fase ketiga, fase
dimana orang – orang tidak lagi sekedar melihat aneka macam gerakan mahasiswa
lalu kemudian menyimpulkan sekenanya saja, tidak sekedar berkoar – koar lalu
mengatakan turun kejalan itu merupakan kenikmatan tertinggi menjadi mahasiswa,
tetapi di fase ini menuntut kematangan, kedewasaan untuk memaknai,
merefleksikan, dan semampu mungkin merevitalisasi segala kekurangan dari bentuk
– bentuk gerakan mahasiswa yang sebelumnya untuk kembali menemukan formula baru
yang tepat dan lebih solutif dalam menjawab problematika kebangsaan disamping
memang utnuk menjalankan fungsi kemahasiswaan kita. Di fase ini, kejijikan terhadap gerakan kemahasiswaan
yang selalu dipertontonkan selama ini. Kejijikan itu bukan kejijikan seperti
pada fase pertama. Melainkan bentuk kejijikan akibat kejenuhan dengan cara –
cara lama, sehingga orang – orang pada fase ini akan berusaha mencari dan
menemukan metode gerakan lain yang tidak terjebak pada gerakan anarkis,
pragmatis, dan sebagainya. Namun sayangnya, hanya sebagian kecil orang yang
berusaha untuk sampai pada fase ini, dan sebagian besar lainnya hanya tetap
pada fase kedua atau lebih memilih untuk berhenti memikirkannya.
Berkaca dari
ketiga fase yang saya paparkan sebelumnya, saya kira ini pula yang terjadi pada
generasi muda di Makassar. Khusus pada fase kedua, dimana generasi muda
berstatus mahasiswa memaknai gerakan – gerakan yang mereka sebut sebagai gerakan
perlawanan terhadap segala bentuk penindasan kaum lemah yang siap untuk mereka
bela, kebanyakan gerakan mahasiswa di Makassar yang terlihat pun tidak jauh
dari itu, masih dalam fase itu. Paradigma lama bahwa gerakan mahasiswa
samadengan (sebatas) gerakan beramai – ramai turun kejalan masih cukup
terpasang sangat rapi dalam pahaman sebagian besar mahasiswa Makassar akibatnya
metode yang digunakan pun masih metode – metode lama sementara penyakit –
penyakit dalam masyarakat yang ingin dicarikan obat penawarnya semakin beragam.
Citra orang
Makassar itu keras dan gerakan mahasiswa Makassar itu sendiri anarkis semakin
melekat saja (tidak lepas dari campur tangan media dan beberapa gerakan –
gerakan tidak jelas yang memang dirancang untuk terlihat seperti itu). Menilik
kebelakang, pasca meletusnya hasrat kebebasan yang telah lama dikungkung oleh
era pemerintahan orde baru dan
penyimpangan – penyimpangan pemerintahan orde baru dalam bentuk aksi besar –
besaran (hampir) seluruh elemen masyarakat –bukan hanya mahasiswa-, yang
berhasil menggulingkan rezim waktu itu dan merebut kembali kebebasan yang telah
lama dicita – citakan. Nah pertanyaan sekarang, apakah bonus kebebasan yang
kita miliki hari ini telah mampu kita manfaatkan sebaik mungkin dalam menekan
segala bentuk kebijakan pemerintah yang dinilai tidak bijak, ataukah kita
justru kembali tertidur tanpa daya kreasi dan cenderung memilih menggunakan
jubah – jubah lama ketika momen untuk turun kejalan datang, dan kembali
tertidur ketika momen itu berlalu? Apakah hanya sebatas itu? Ini yang harus
direfleksikan.
Jika benar
kondisi itu yang terjadi pada pergerakan mahasiswa kita -pada umunya-, dan
pergerakan mahasiswa Makassar -pada khususnya-, maka sebagai orang yang percaya
pada prinsip kausalitas, saya percaya bahwa menurunnya daya kreasi gerakan
mahasiswa dan gerakan mahasiswa Makassar hari ini tidak akan terjadi tanpa
suatu sebab.
Mencoba memaknai
tulisan Tentang Kemiskinan Hidup Mahasiswa karya Mustapha Khayati (seorang
situationist international) bersama mahasiswa – mahasiswa di Strasbourg
(November 1966), dalam tulisan itu dikatakan bahwa universitas dan mahasiswa
itu sendiri turut ambil andil .
Pertama, mahasiwa. Dikatakan bahwa mahasiswa merupakan
budak – budak yang sabar; dimana semakin banyak rantai ototritas yang mengikat
mereka, semakin mereka merasa bebas. Mereka beranggapan bahwa mereka adalah
sosok – sosok yang paling independen padahal pada kenyataannya mereka secara
langsung dan sukarela justru bersikap patuh dan penurut pada dua system
otoritas social yang paling kuat yakni keluarga dan negara (Mustapha Khayati
1966). Selain itu, dalam rangka interaksi sehari – hari sebagai mahasiswa,
sebuah doktrin (arogansi) status mulai ditanamkan dari generasi ke generasi
dalam berbagai bentuk (pengaderan, diskusi kantin, demonstrask, bahkan dalam
celoteh – celoteh ringan lainnya), doktrin itu berbunyi bahwa kita-lah,
mahasiswa, sebagai pelaku perubahan. Perubahan tak terjadi tanpa mahasiswa.
Hidup mahasiswa !! sementara transformasi nilai tidak dilakukan.
Yang amat
mengerikan kemudian, ketika doktrin itu betul – betul dimaknai lain dalam
bentuk pengukuhan arogansi mahasiswa yang tak tertandingi. Ia akan menjadi
penyakit baru, melihat masyarakat bukan lagi sebagai rekan seperjuangan, buruh
tani nelayan bukan lagi sebagai saudara serasa, melainkan ia bergerak dengan
caranya sendiri tanpa upaya mendapat simpati dari rekan seperjuangan dan
saudara serasanya itu agar bisa bergerak bersama – sama. Inilah yang biasanya
menyebabkan gerakan mahasiswa turun kejalan menjadi kacau hingga mereka sendiri
tak tau bentuk awalnya, ditambah lagi jika sebagian dari mereka hanya mengikut
agar terlihat keren atau agar dipuji teman dan dibanggakan senior kampusnya
tanpa tahu substansi turun kejalan itu untuk apa sebagai alasan yang lebih
ideologis.
Salah satu wujud
lain dari arogansi mahasiswa hari ini, selain arogansi terhadap status
kemahasiswaan tanpa pemahaman terhadap nilai bermahasiswa, mahasiswa juga
terjebak pada arogansi sectarian kelembagaan masing – masing. Akibatnya, ketika
turun keranah praksis gerakan, mahasiswa cenderung saling sikut – sikutan
dengan bendera organisasi masing – masing, sehingga tujuan gerakannya pun
kurang ideologis lagi, orientasi lain lebih memboncengi. Hal ini dapat pula
mengakibatkan gerakan mahasiswa menjadi semakin kocar – kacir dan bisa berujung
pada aksi saling merugikan antarorganisasi.
Tak cukup sampai
disitu, untuk mahasiswa yang mungkin sudah agak memiliki banyak pengalaman
turun kejalan, dan memiliki tingkat pemahaman yang lebih dari pada junior –
junior mereka, namun sayangnya dikemudian hari mereka menjadi idealis
kompromis, mereka dengan mudah memposisikan dirinya dalam aturan - aturan yang amat menyedihkan yang didesain
untuk mengontrol lebih banyak lagi mahasiswa – mahasiswa biasa dan mereka mampu
melakukannya dengan tepat karena mereka tahu system yang dulunya sering mereka
lakukan pula. (Mustapha Khayati 1966)
Kedua,
universitas. System pendidikan yang sangat mekanikal telah membawa perubahan
fungsi universitas itu sendiri. Universitas menjelma tak ubahnya dengan pabrik
– pabrik penghasil roti untuk dibawa kedunia pasar. Begitupun dengan mahasiswa,
dunia kuliah tak ubahnya dunia kursus. Belajar dengan waktu yang telah
ditentukan kemudian keluar dengan sertifikat, lalu siap melamar kerja kesana –
kemari, kemudian datang generasi calon “roti – roti” selanjutnya. Ia tidak
diberi cukup waktu untuk memikirkan bagaimana metode lain untukmenyelamatkan
rakyat yang tidak punya pekerjaan, bagaimana cara yang paling solutif untuk
menentang kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM diantara jeritan
kelaparan rakyat, atau setidaknya bagaimana melakukan transformasi nilai kepada
teman – teman, adik – adik mahasiswa lainnya agar tidak kehilangan identitas
diantara gemerlap dunia kampus dan tatanan kehidupan yang semakin gila,
bagaimana membuat penelitian menjadi tulisan bermanfaat yang siap untuk
dikonsumsi guna membuat “kenyang” pemikiran masyarakat. Tidak ada waktu untuk
itu. Mahasiswa seolah terjepit diantara system pendidikan, tugas – tugas kuliah
dan kondisi tuntutan keluarga yang kadang sangat mekanistik pula.
Inilah realita,
realita untuk kondisi kemahasiswaan kita, realita untuk kondisi gerakan
kemahasiswaan kita khususnya pula di Makassar. Perlu solusi cerdas dan lebih
inovatif untuk itu.
Tanpa bermaksud
untuk melupakan penyebab dari lumpuhnya gerakan mahasiswa kita hari ini,
setidaknya ada dua gambaran umum yang dapat kita tarik dari citra yang
terbentuk mengenai gerakan mahasiswa belakangan ini yakni momentuman, monoton
dan cenderung kuno, pragmatis, dan terkadang anarkis.
Setidaknya
diperlukan sebuah pencerahan dan perhatian yang serius terhadap hal ini.
Penghayatan kembali terkait identitas dan nilai – nilai kemahasiswaan tanpa
upaya doktrinasi kearogansian (lebih realistis tanpa meninggalkan idealitasnya,
dan tanpa berusaha melakukan penyembunyian fakta sejarah demi menyalakan gelora
bermahasiswa baru), budaya diskusi dsb harus dihidupkan kembali. Penyempitan
makna gerakan social harus diredefinisi. Sehingga berbagai metode gerakan
social –selain turun kejalan- seperti berdiskusi, lewat tulisan, pemanfaatan
jejaring social dan segala macamnya dapat dimaksimalkan. Tertarik dengan sebuah
pernyataan yang berbunyi bahwa “ketika dunia menindas kita dengan berbagai
macam cara, maka kita pun harus melawannya dengan berbagai macam cara pula”.
Dan menurut saya gerakan yang bersifat ideologis adalah gerakan yang mampu
menjadi langkah yang paling solutif. Gerakan ideologis bersifat tanpa akhir
sehingga tidak akan terjebak pada penyaki baru gerakan social hari ini, yakni
momentuman. Oleh sebab itu, khusus untuk gerakan kemahasiswaan, gerakan
tersebut harus ditanamkan baik – baik dalam setiap pola pengaderan dan
transformasi nilai.