Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari rakyat dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya pada rakyat. Semua anggota masyarakat (yang memenuhi syarat ) diikutsertakan dalam kehidupan kenegaraan dalam aktivitas pemilu. Pelaksanaan dari demokrasi ini telah dilakukan dari dahulu di berbagai daerah di Indonesia hingga Indonesia merdeka sampai sekarang ini. Demokrasi di negara Indonesia bersumberkan dari Pancasila dan UUD 1945 sehingga sering disebut dengan demokrasi pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada faham kekeluargaan dan kegotongroyongan
Indonesia pertamakali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Pada tahun 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Serta pada tahun 2009 pun kembali lagi diadakan Pilkada. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.
Namun, ditengah proses belajar “berjalan” menapaki kehidupan politik yang berdemokrasi tersebut, tidak jarang kemudian Indonesia masih terseok – seok, merangkak, bahkan terjatuh. Semua itu adalah proses belajar. Masih terdapat banyak tantangan dan ancaman menuju perpolitikan yang sehat yang kemudian hadir dan mewarnai proses Indonesia memahami demokrasi tersebut, khususnya dalam hal ini pada pemilihan kepala daerah (pilkada).
Dalam tulisan ini, ada dua hal yang akan Saya paparkan dalam analisa Saya melihat praktek pilkada yang sejatinya telah berlangsung sejak tahun 2005 hingga 2009 kemarin. Tantangan dan ancaman tersebut menyangkut hal – hal yang dapat menjadi batu sandungan bagi perwujudan demokrasi yang sehat, pemilu yang bersih, serta melahirkan output pemilu yang layak menduduki kursi pemerintahan didaerah.
Terkait tantangan, hal yang masih menghambat pelaksanaan pilkada yang baik dalam rangka melahirkan pemimpin yang berkapabilitas yakni pendidikan politik yang ada dalam masyarakat (khususnya masyarakat yang pendidikannya menengah kebawah) masih sangat kurang sehingga dalam menggunakan hak politiknya memilih kepala daerah yang ideal masih sangat awam. Padahal satu suara kemudian sangat berarti untuk pemerintahan didaerah selama beberapa tahun kedepan. Pendidikan politik (bagi masyarakat menengah kebawah) yang kurang ini diakibatkan oleh factor ekonomi yang membatasi untuk belajar, khususnya pendidikan politik dijenjang pendidikan tertentu.
Adapun ancaman yang hadir dalam proses tersebut, yakni money politik. Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang.
Masih terdapat banyak tantangan dan ancaman lainnya yang dapat menggerus kehidupan politik kita. Padahal, bila kita pahami bahwa landasan pelaksanaan output pemerintahan yang baik dapat dilihat dari inputnya yakni saat pemilihan umum (dalam hal ini pilkada), begitupun sebaliknya yakni “embrio” koruptor – koruptor penghianat amanah rakyat lahir pula pada pilkada. Jika suara rakyat, satu suara sangat berarti tersebut justru dimanfaatkan dengan kurang bijak maka akan berakibat pada penyelenggaraan pemerintahan lima tahun kedepan. Oleh sebab itu, suara tersebut harus digunakan sebijaksana mungkin.
Mobilisasi suara rakyat dalam artian negative ini tidak boleh dibiarkan terus menerus. Oleh sebab itu, maka diperlukan benteng pertahanan dalam membangun pemerintahan daerah yang sehat dan bersih. Salah satu cara yang paling fundamental dalam mengatasi hal tersebut, yakni melakukan pencerdasan bagi kehidupan masyarakat, yakni melalui pendidikan politik yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Tantangan dan ancaman di bidang politik Perwujudan Demokrasi Sehat Melalui Pilkada Yang Bersih
TREND NASIONALISME
##Dua kata yang cukup menggelitik diatas merupakan sebuah kalimat yang kali pertama muncul ketika Saya diharuskan membuat sebuah tulisan singkat dengan tema NASIONALISME oleh sebuah seleksi *tiiiiiiiittt* (*disensor). sekaligus tulisan ini lahir dari sebuah ke*galau*an Saya (bahasa alay namun cukup nge-trend sekarang ini) melihat realita kebangsaan hari ini.##
Nasionalisme, pada awal kelahirannya merupakan suatu paham / ajaran dimana kesetiaan tertinggi para penganutnya diserahkan secara mutlak pada negara. Idealnya, nasionalisme tak lain dari suatu paham kebangsaan yang kesemuanya terwujud dalam kecintaan terhadap bangsa dan tanah air. Kesetiaan, kecintaan, merupakan dua hal abstrak yang memerlukan penjabaran yang lebih konkrit.
Mengerucutkan paham kebangsaan (nasionalisme) tersebut keranah konteks ke – Indonesia – an, maka akan melahirkan pertanyaan pada diri kita masing – masing yang entah benar – benar telah “me – nasionalis” ataukah hanya “sok nasionalis”, yaitu benarkah kesetiaan dan kecintaan itu telah terjiwai dalam spirit keseharian kita?
Menjawab hal tersebut, maka (dalam tulisan ini) terdapat tiga poin yang perlu dijewantahkan terlebih dahulu; (1) nasionalisme seperti apakah yang didambakan Indonesia? (2) apa parameter me – nasionalis nya seseorang? (3)benarkah kita telah nasionalis?
NASIONALIS ALA INDONESIA
Dalam sebuah literature, saya menemukan bahwasanya nasionalisme ala Indonesia yaitu nasionalisme Pancasila. Berarti, idealnya nasionalisme yang diwujudkan manusia Indonesia ialah (1) nasionalisme yang memandang bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga punya hakikat dan martabat yang sejajar. (2) nasionalisme yang tidak mengarah kepada Chauvinisme, melainkan saling menghormati kemerdekaan manusia dan bangsa lain. (3)bertujuan menumbuhkembangkan semangat persatuan dan kesatuan dalam bela Negara, menghapuskan bakteri – bakteri fanatisme yang dapat merontokkan harmonisasi keindahan dalam perbedaan, bak keselarasan notasi tangga nada –nada yang indah, namun berasal dari nada – nada yang berbeda. (4) terwujud dalam sikap demokratis demi mewujudkan cita – cita hidup bernegara yang sesuai dengan paham kedaulatan rakyat, serta (5) mendorong tumbuhnya semangat perwujudan kesejahteraan bagi seluruh manusia Indonesia (amanat pembukaan UUD 1945 alinea keempat). Semua ini terwujud dalam nasionalisme dalam arti sempit yaitu meninggikan bangsa lain serta dalam arti luas menghormati bangsa lain.
Terkait parameter seseorang yang me – nasionalis itu, semakin terdegradasinya pahaman terhadap nasionalisme maka meniscayakan adanya pendangkalan memaknai serta miskin metode dalam penerapannya. Maka nasionalisme hari ini terenjara dalam simbolik – simbolik instrumental, bukan nasionalisme substansial lagi. Nafas nasionalisme ter-marginal-kan, simbolik diagung – agungkan. Sehingga muncul pendewaan terhadap nasionalisme bergaya musiman, atau bahasa kerennya TREND NASIONALISME. Kecintaan, kesetiaan terhadap bangsa barulah terjiwai saat musim sepakbola, musimnya atlet bulutangkis berlaga dalam kejuaraan internasional, atau yang paling teasa yakni pada saat dimana hari jadi Indonesia telah didepan mata. Maka menjadi trend-lah kaos berlabel Garuda Didadaku, poster atlet bulutangkis yang mendadak menjadi idola, serta bendera merah putih yang berkibar dimana – mana (meskipun mungkin tiang penyangganya rapuh dan hamper saja pongah).
Tak menjadi persoalan memang dengan pernyataan bahwa ternyata bola bias “menyatukan”, prestasi bulutangkis membuat bulu kuduk merinding, atau sejarah sebagai refleksi untuk spirit dimasa depan. Namun, pertanyaannya kemudian, mengapa nafas cinta tanah air tersebut tidak kita wujudkan sehari – hari. Bukan hanya sebatas momentuman?? Misalnya saja melalui pengamalan jiwa Pancasila – is ; tanpa fanatisme keagamaan/ kesukuan dsb, budaya demokrasi yang sehat, dan yang paling penting ialah KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI, dan apliaksikan !!
Untuk penjewantahan poin ketiga (Sudah me-nasionalis-kah kita?), mari renungkan masing – masing.
BACA, BERPIKIR, LAWAN