MAHASISWA -riwajatmoe-
Tidak tau kenapa ada di flashdisk kuu. :)
Aristoteles adalah murid Plato, filsuf terkenal dari zaman Yunani Kuno. Kala itu, di Yunani dikenal Kaum Sophie yang mengajarkan cara berbicara atau berorasi kepada orang-orang awam, pengacara, serta para politisi. Plato sendiri banyak menyindir perilaku Kaum Sophie ini karena menurutnya orasi yang mereka ajarkan itu miskin teori, dan terkesan dangkal.
Aristoteles berpendapat bahwa retorika itu sendiri sebenarnya bersifat netral. Maksudnya adalah orator itu sendiri bisa memiliki tujuan yang mulia atau justru hanya menyebarkan omongan yang gombal atau bahkan dusta belaka. Menurutnya, “…by using these justly one would do the greatest good, and unjustly, the greatest harm” (1991: 35). Aristoteles masih percaya bahwa moralitas adalah yang paling utama dalam retorika. Akan tetapi dia juga menyatakan bahwa retorika adalah seni. Retorika yang sukses adalah yang mampu memenuhi dua unsur, yaitu kebijaksanaan (wisdom) dan kemampuan dalam mengolah kata-kata (eloquence).
Rethoric, salah satu karya terbesar Aristoteles, banyak dilihat sebagai studi tentang psikologi khalayak yang sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu membawa retorika menjadi sebuah ilmu, dengan cara secara sistematis menyelidiki efek dari pembicara, orasi, serta audiensnya. Orator sendiri dilihat oleh Aristoteles sebagai orang yang menggunakan pengetahuannya sebagai seni. Jadi, orasi atau retorika adalah seni berorasi.
Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai komunikasi ‘persuasif’, meskipun dia tidak menyebutkan hal ini secara tegas. Meskipun begitu, dia menekankan bahwa retorika adalah komunikasi yang sangat menghindari metode yang kohersif.
Aristoteles kemudian menyebutkan tentang klasifikasi tiga kondisi audiens dalam studi retorika. Klasifikasi yang pertama adalah courtroom speaking, yaitu yang dicontohkan dengan situasi ketika hakim sedang menimbang untuk memutuskan tersangka bersalah atau tidak bersalah dalam suatu sidang peradilan. Ketika seorang Penuntut dan Pembela beradu argumentasi dalam persidangan tersebut, maka keduanya telah melakukan judicial rethoric.
Yang kedua adalah political speaking, yang bertujuan untuk mempengaruhi legislator atau pemilih untuk ikut serta dalam pilihan politik tertentu. Debat dalam kampanye termasuk dalam kategori ini. Sedangkan yang ketiga adalah ceremonial speaking, di mana yang dilakukan adalah upaya mendapatkan sanjungan atau menyalahkan pihak lain guna mendapatkan perhatian dari khalayak. Mungkin yang masuk kategori ini semacam tabligh akbar atau sejenisnya.
Karena muridnya terbiasa dengan metode dialectic Socrates, yaitu metode diskusi tanya-jawab, one-on-one discussion, maka Aristoteles menyebutkan retorika adalah kebalikannya. Retorika adalah diksusi dari satu orang kepada banyak orang. Jika dialectic adalah upaya untuk mencari kebenaran, maka retorika mencoba menunjukkan kebenaran yang telah diketemukan sebelumnya. Dialectic menjawab pertanyaan filosofis yang umum, retorika hanya fokus pada satu hal saja. Dialectic berurusan dengan kepastian, sedang retorika berurusan dengan probabilitas (kemungkinan). Menurutnya, retorika adalah seni untuk mengungkapkan suatu kebenaran kepada khalayak yang belum yakin sepenuhnya terhadap kebenaran tersebut, dengan cara yang paling cocok atau sesuai.
Menurut Aristoteles, kualitas persuasi dari retorika bergantung kepada tiga aspek pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos). Pembuktian logika berangkat dari argumentasi pembicara atau orator itu sendiri, pembuktian etis dilihat dari bagaimana karakter dari orator terungkap melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam orasi, dan pembuktian emosional dapat dirasakan dari bagaimana transmisi perasaan dari orator mampu tersampaikan kepada khalayaknya.
Aristoteles mengutarakan tentang dua konsep pembuktian logis (logical proof), yakni enthymeme dan example (contoh). Enthymeme sendiri adalah semacam silogisme yang belum sempurna. Berikut ini contohnya:
Premis mayor : Semua manusia memiliki derajat yang sama
Premis minor : Saya adalah manusia
Konklusi : Maka saya memiliki derajat yang sama
Dalam entymeme, biasanya hanya menggunakan premis “semua manusia memiliki derajat yang sama dengan manusia yang lain…..Saya memiliki derajat yang sama”, tanpa perlu menggunakan premis “saya adalah manusia”.
Entymeme ini digunakan dengan tujuan agar khalayak menggunakan kerangka logika tertentu, sehingga mereka semacam diberikan ‘ruang’ untuk menafsirkan premis yang digunakan dalam silogisme yang dimaksud oleh orator tadi. Dengan memberikan ‘ruang’ tadi pada dasarnya khalayak digiring untuk menggunakan cara berpikir yang sama dengan apa yang dipikirkan oleh orator. Sejauh orasi yang digunakan dapat masuk ke dalam logika khalayak tadi, maka pembuktian logis dari orasi yang dilakukan akan terasa cukup efektif.
Enthymeme kemudian diperkuat dengan example atau contoh. Jika enthymeme digunakan sebagai pembentuk logika atau kerangka berpikir, maka contoh dipakai untuk memperkuat pembuktian dengan detail contoh-contoh dari pemikiran yang dimaksudkan sebelumnya.
Pembuktian etis (ethical proof) menurut Aristoteles berpulang kepada kredibilitas dari orator tersebut. Retorika yang baik tidak hanya mengandalkan kata-kata yang baik semata, melainkan bahwa oratornya sendiri juga harus ‘terlihat’ memiliki kredibilitas. Karena seringkali khalayak sudah cukup terpesona kepada seseorang, bahkan sebelum orang tersebut berpidato atau berorasi. Sebelum kata-kata keluar dari mulut orang tersebut.
Dalam Rethoric, Aristoteles menyebutkan tentang tiga sumber kredibilitas yang baik, yaitu intelligence, character, dan goodwill.
Intelligence atau kecerdasan lebih kepada persoalan kebijaksanaan dan kemampuan dalam berbagi nilai atau kepercayaan antara orator dengan khalayaknya. Maksudnya adalah khalayak seringkali menilai bahwa orator tersebut ‘cerdas’ adalah sejauh mana mereka sepakat atau memiliki kesamaan pemikiran, cara berpikir, atau ide dengan orator tersebut. Orator yang cerdas, oleh karenanya mampu menyesuaikan diri atau mampu membaca cara berpikir khalayaknya, untuk kemudian disesuaikan dengan cara berpikirnya.
Character lebih kepada citra orator sebagai orang yang baik dan orang yang jujur. Jika seorang orator mampu memiliki citra sebagai orang yang baik dan jujur, apapun kata-kata yang disampaikan dalam orasinya maka khalayak cenderung lebih mudah untuk percaya. Begitu pula sebaliknya, jika orator yang bersangkutan memiliki citra yang kurang baik maka sebaik apapun kata-kata yang disampaikannya khalayak sulit untuk percaya.
Good will atau niat baik, adalah penilaian positif yang coba ditularkan oleh orator kepada khalayaknya. Seorang orator mungkin mampu memperlihatkan kecerdasannya, menunjukkan karakter kepribadiannya, akan tetapi belum tentu mampu ‘menyentuh hati’ khalayaknya. Niat baik ini biasanya dapat dirasakan oleh hati khalayak.
Pembuktian emosional (emotional proof). Di sini orator dituntut untuk mampu menyesuaikan suasana emosional yang ingin dicapai dalam sebuah orasi. Orator yang cerdas mampu mengendalikan suasana emosi yang diinginkan, bukan apa yang diinginkan khalayak, akan tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh orator itu sendiri. Dengan mengetahui karakteristik khalayak, pemahaman yang mendalam terhadap berbagai macam karakter emosi, diharapkan retorika yang dilakukan dapat berjalan efektif.
Walaupun banyak ilmuwan menyatakan bahwa sebenarnya pemikiran Aristoteles tentang retorika itu rumit, mereka kemudian menyederhanakan pemikiran tersebut ke dalam empat konsep tentang bagaimana mengukur kualitas seorang orator yang baik. Keempat hal tersebut adalah bagaimana menciptakan argumentasi (invention), menyusun bahan-bahan atau materi argumentasi (arrangement), pemilihan bahasa (style), dan bagaimana teknik penyampaiannya (tecniques of delivery).
Untuk menciptakan argumentasi yang baik, orator dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas, kemampuan penalaran dan logika yang baik dalam berbagai macam bentuk pembicaraan. Penguasaan terhadap berbagai macam topik, isu, informasi, data, dan sejenisnya, dapat dijadikan sebagai memori yang setiap saat mampu dibentuk menjadi argumentasi ketika orasi dilakukan. Semakin banyak memori yang dimiliki maka akan semakin mudah untuk menciptakan argumentasi yang baik.
Aristoteles mengingatkan tentang pentingnya penyusunan atau pentahapan argumentasi itu sendiri. Menurutnya, pada awal-awal orasi baiknya adalah sebagai upaya untuk menarik perhatian dari khalayak, menjaga kredibilitas, dan kemudian memperjelas maksud atau tujuan dari pembicaraan atau orasi itu sendiri. Yang terakhir adalah konklusi, yang sebaiknya adalah mengupayakan bagaimana khalayak akan selalu mengingat apa-apa yang telah kita katakan, dan kita meninggalkan khalayak dengan citra yang positif tentang diri kita dan ide-ide yang telah kita sampaikan kepada mereka.
Style atau gaya bicara adalah tentang bagaimana kemapuan seorang orator menggunakan cara atau gaya bicara tertentu. Gaya bicara ini ibarat karakteristik si orator itu sendiri. Ada orator yang bagus karena dinilai memiliki gaya orasi yang unik, menarik, dan bukan tentang kata-kata apa yang disampaikannya.
Style ini juga terkait erat dengan cara penyampaian kata-kata atau argumentasi kepada khalayak. Cara penyampaian yang menarik adalah hal yang penting dalam sebuah orasi. Karena seringkali kefektifan orasi dilihat dari sejauh mana khalayak menilai cara bicara atau cara orasi orang tersebut menarik atau tidak. Mengenai apa yang disampaikannnya itu menjadi hal yang berikutnya.
Para pengkritik terhadap teori retorika Aristoteles ini mengatakan bahwa kesalahan terbesar di sini adalah audiens atau khalayak dianggap pasif. Orator menurut Aristoteles dianggap akan selalu mampu menyampaikan apa-apa yang dimaksudkannya kepada khalayak sejauh mereka mengikuti anjuran-anjuran Aristoteles tersebut. Ada faktor yang penting yang terlupa oleh Aristoteles, yaitu situasi. Padahal faktor ini adalah salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam praktek retorika itu sendiri.
Di luar itu semua, teori retorika ini memang banyak dinilai memadai jika dilihat sebagai landasan dalam studi dan praktek retorika. Tentunya seiring masa perlu dilakukan beragai macam penyesuaian dan semacamnya. Akan tetapi yang terpenting dari itu semua bahwa retorika atau komunikasi secama umum pada dasarnya adalah seni, sehingga tidak akan mampu untuk terbakukan dalam bentuk-bentuk aturan apapun. Seringnya, semuanya berpulang kepada manusia itu sendiri.
Daftar Pustaka:
Griffin, Emory A., A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York: McGraw-Hill, 2003, p.303—311
Bacaan lebih lanjut:
Aristotle, On Rethoric: A Theory of Civil Discourse, George A. Kennedy (ed. And trans.), Oxford University, New York,
KABAR DARI KORBAN LUMPUR LAPINDO
Tanggal 29 Mei 2006, penduduk Porong Sidoarjo Jawa Timur dikejutkan dengan semburan lumpur dari pusat pengeboran yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Inilah merupakan titik semburan lumpur pertama yang terjadi, dan kemudian pada tanggal 1 Juni 2006 muncul titik semburan kedua, dan semburan tersebut terus berlanjut sampai semuanya berjumlah 61 titik semburan. Di mana dari 61 titik semburan, 37 diantaranya sudah mati.
Lebih jauh berdasarkan hasil penelitin Dr. Ir Rubi Rubiandini menyimpulkan bahwa semburan disebabkan tekanan yang terjadi selama penaggulangan masalah kick melebihi MASP, sehingga mampu meretakan batuan yang kebetulan belum ditutup pipa pelindung casing. Ketiadaan casing dan kejadian kick inilah yang menyebabkan cairan di dalam lubang bor yang ditutup BOP meretakan batuan, dan mengalir ke permukaan melalui retakan yang terbentuk. Di lain pihak, kesulitan dalam penanggulangan makin dipersulit dengan perginya peralatan pemboran (rig), yang seharusnya tetap di tempat untuk menanggulangi semburan sampai tuntas.
Sejak semburan lumpur panas tersebut di atas, penduduk 11 desa pada 3 kecamatan di Kabupaten Sidoarjo harus mengungsi, meninggalkan kampungnya karena tergenang lumpur panas lapindo. Sekitar 49 ribu warga harus menghadapi dampak semburan lumpur panas Lapindo. Ganti rugi untuk pengungsi yang jumlahnya lebih dari 24 ribu orang, juga tak kunjung selesai, pemulihan sosial ekonomi semakin sulit dilakukan. Luapan lumpur panas itu juga berdampak terhadap hilangnya mata pencaharian warga yang tinggal di desa-desa yang digenangi oleh lumpur panas Lapindo.
Lima tahun berlalu. Tiba – tiba statmen Wakil Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Widjajono Partowidagdo di salah satu media massa yang terbit di Jakarta yang mempersilahkan kepada Group Bakrie (Lapindo) kembali melanjutkan eksplorasi minyak dan gas (migas) di Sidoarjo menuai kontrofersi. Seperti pada kasus statmen controversial wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana terkait moratorium remisi bagi pelaku korupsi yang dilontarkannya baru – baru ini pun seperti mengulang cerita serupa.
Keresahan masyarakat mendengar pernyataan dari mulut Wakil Menteri ESDM tersebut disebabkan oleh Bapak Wakil Menteri ESDM sepertinya sudah lupa atas penderitaan panjang korban lumpur di Porong, Sidoarjo. Memang, pada pernyataannya, beliau mensyaratkan tawaran untuk melanjutkan pengeboran itu jika pembayaran tanah ke masyarakat sudah beres. Namun, dengan pernyataan seperti itu Bapak Wakil Menteri ESDM mereduksi persoalan semburan lumpur hanya sekedar persoalan hilangnya tanah dan rumah. Bapak Wakil Menteri ESDM seperti menutup mata atas dampak buruk semburan lumpur terhadap kesehatan, lingkungan hidup dan sosial. Bapak Wakil Menteri ESDM seperti menutup mata bahwa pada April 2011 lalu ada seorang bayi usia 3,5 bulan yang meninggal dunia karena diduga kuat terlalu banyak menghirup gas beracun dari lumpur Lapindo. Pak Wakil Menteri ESDM seperti menutup mata bahwa semburan gas liar yang mudah terbakar di Porong, Sidoarjo juga telah menelan korban.
Tragedi semburan lumpur di Sidoarjo telah berlangsung selama 5 tahun lebih. Dan waktu 5 tahun itu adalah waktu yang sangat panjang bagi warga Porong, Sidoarjo untuk terus menderita. Sehingga rakyat Indonesia sebagai warga negara pembayar pajak, yang dari uang pajak itu digunakan untuk menggaji pejabat, berharap Wakil Menteri ESDM tidak lagi membuat pernyataan yang menambah luka di hati korban lumpur. Jangan sampai kemudian ke(tidak)bijakan tersebut memang sengaja dibuat dengan melupakan aspek etis terkait penderitaan selama bertahun – tahun warga Sidoarjo.
Selain itu, keraguan masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam penanganan kasus ini disebabkan karena selama ini kasus tersebut seolah – olah telah terbiarkan selama bertahun – tahun oleh pemerintah. Padahal dampak semburan lumpur tersebut telah menelan banyak korban dan mengakibatkan banyak kerugian baik secara materi maupun berdampak pada psikologi masyarakat.
Ditambah lagi dengan keluarnya statmen kontrofersial oleh Sang Wakil Menteri semakin membuat masyarakat tercengang bahwa betapa mereka memang kurang diperhatikan. Ketakutan masyarakat bahwa jangan sampai ada permainan politik yang bermain disini. Permainan politik bagi keuntungan satu dua atau sekelompok orang, sementara nasib rakyat terabaikan. Padahal, secara konstitusional setiap negara wajib dan terikat dengan penyelenggaraan jaminan sosial yang berdasarkan UU jaminan sosial untuk mensejahterakan rakyat. Kesejahteraan rakyat adalah suatu kondisi tercapainya jaminan sosial-ekonomi (social-economic security) yang berdasarkan pada asas-asas kemanusiaan, manfaat dan keadilan untuk mewujudkan Negara kesejahteraan (welfare state). Sangat kontradiktif dengan kenyataan.