Tanggal 29 Mei 2006, penduduk Porong Sidoarjo Jawa Timur dikejutkan dengan semburan lumpur dari pusat pengeboran yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Inilah merupakan titik semburan lumpur pertama yang terjadi, dan kemudian pada tanggal 1 Juni 2006 muncul titik semburan kedua, dan semburan tersebut terus berlanjut sampai semuanya berjumlah 61 titik semburan. Di mana dari 61 titik semburan, 37 diantaranya sudah mati.
Lebih jauh berdasarkan hasil penelitin Dr. Ir Rubi Rubiandini menyimpulkan bahwa semburan disebabkan tekanan yang terjadi selama penaggulangan masalah kick melebihi MASP, sehingga mampu meretakan batuan yang kebetulan belum ditutup pipa pelindung casing. Ketiadaan casing dan kejadian kick inilah yang menyebabkan cairan di dalam lubang bor yang ditutup BOP meretakan batuan, dan mengalir ke permukaan melalui retakan yang terbentuk. Di lain pihak, kesulitan dalam penanggulangan makin dipersulit dengan perginya peralatan pemboran (rig), yang seharusnya tetap di tempat untuk menanggulangi semburan sampai tuntas.
Sejak semburan lumpur panas tersebut di atas, penduduk 11 desa pada 3 kecamatan di Kabupaten Sidoarjo harus mengungsi, meninggalkan kampungnya karena tergenang lumpur panas lapindo. Sekitar 49 ribu warga harus menghadapi dampak semburan lumpur panas Lapindo. Ganti rugi untuk pengungsi yang jumlahnya lebih dari 24 ribu orang, juga tak kunjung selesai, pemulihan sosial ekonomi semakin sulit dilakukan. Luapan lumpur panas itu juga berdampak terhadap hilangnya mata pencaharian warga yang tinggal di desa-desa yang digenangi oleh lumpur panas Lapindo.
Lima tahun berlalu. Tiba – tiba statmen Wakil Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Widjajono Partowidagdo di salah satu media massa yang terbit di Jakarta yang mempersilahkan kepada Group Bakrie (Lapindo) kembali melanjutkan eksplorasi minyak dan gas (migas) di Sidoarjo menuai kontrofersi. Seperti pada kasus statmen controversial wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana terkait moratorium remisi bagi pelaku korupsi yang dilontarkannya baru – baru ini pun seperti mengulang cerita serupa.
Keresahan masyarakat mendengar pernyataan dari mulut Wakil Menteri ESDM tersebut disebabkan oleh Bapak Wakil Menteri ESDM sepertinya sudah lupa atas penderitaan panjang korban lumpur di Porong, Sidoarjo. Memang, pada pernyataannya, beliau mensyaratkan tawaran untuk melanjutkan pengeboran itu jika pembayaran tanah ke masyarakat sudah beres. Namun, dengan pernyataan seperti itu Bapak Wakil Menteri ESDM mereduksi persoalan semburan lumpur hanya sekedar persoalan hilangnya tanah dan rumah. Bapak Wakil Menteri ESDM seperti menutup mata atas dampak buruk semburan lumpur terhadap kesehatan, lingkungan hidup dan sosial. Bapak Wakil Menteri ESDM seperti menutup mata bahwa pada April 2011 lalu ada seorang bayi usia 3,5 bulan yang meninggal dunia karena diduga kuat terlalu banyak menghirup gas beracun dari lumpur Lapindo. Pak Wakil Menteri ESDM seperti menutup mata bahwa semburan gas liar yang mudah terbakar di Porong, Sidoarjo juga telah menelan korban.
Tragedi semburan lumpur di Sidoarjo telah berlangsung selama 5 tahun lebih. Dan waktu 5 tahun itu adalah waktu yang sangat panjang bagi warga Porong, Sidoarjo untuk terus menderita. Sehingga rakyat Indonesia sebagai warga negara pembayar pajak, yang dari uang pajak itu digunakan untuk menggaji pejabat, berharap Wakil Menteri ESDM tidak lagi membuat pernyataan yang menambah luka di hati korban lumpur. Jangan sampai kemudian ke(tidak)bijakan tersebut memang sengaja dibuat dengan melupakan aspek etis terkait penderitaan selama bertahun – tahun warga Sidoarjo.
Selain itu, keraguan masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam penanganan kasus ini disebabkan karena selama ini kasus tersebut seolah – olah telah terbiarkan selama bertahun – tahun oleh pemerintah. Padahal dampak semburan lumpur tersebut telah menelan banyak korban dan mengakibatkan banyak kerugian baik secara materi maupun berdampak pada psikologi masyarakat.
Ditambah lagi dengan keluarnya statmen kontrofersial oleh Sang Wakil Menteri semakin membuat masyarakat tercengang bahwa betapa mereka memang kurang diperhatikan. Ketakutan masyarakat bahwa jangan sampai ada permainan politik yang bermain disini. Permainan politik bagi keuntungan satu dua atau sekelompok orang, sementara nasib rakyat terabaikan. Padahal, secara konstitusional setiap negara wajib dan terikat dengan penyelenggaraan jaminan sosial yang berdasarkan UU jaminan sosial untuk mensejahterakan rakyat. Kesejahteraan rakyat adalah suatu kondisi tercapainya jaminan sosial-ekonomi (social-economic security) yang berdasarkan pada asas-asas kemanusiaan, manfaat dan keadilan untuk mewujudkan Negara kesejahteraan (welfare state). Sangat kontradiktif dengan kenyataan.
0 comments:
Posting Komentar