RSS

PROBLEMATIKA KKN DI INDONESIA DALAM TINJAUAN ETIKA PEMERINTAHAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Tidak ada seni yang mudah dipelajari oleh pemerintah kecuali seni menguras duit dari kantong penduduk.” Kalimat ini atas adalah sepenggal pernyataan Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (Skousen, 2005:40). Di Indonesia pernyataan di atas menjadi justifikasi dari begitu banyak tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang kian merajalela dalam berbagai kehidupan, khususnya kehidupan pemerintahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi hari ini telah menjadi problematika yang terlembagakan dan harus diatasi hingga ke akar-akanya dikarenakan dampak yang ditimbulkannya sangat besar.

Berbicara mengenai korupsi maka kita akan dihadapkan dengan suatu kondisi dimana ruang-ruang etika tidak dapat dielakkan. Korupsi hari ini merupakan salah satu penyimpangan terhadap etika yang selama ini diyakini oleh masyarakat sebagai hal yang negatif. Namun, penegakannya baru dimulai sejak teriakan masyarakat yang merasa tertindas oleh rezim penguasa dilembagakan oleh demokrasi.

Sebagaimana kearifan Perancis,”Historete Se-Repete” (Sejarah mengulangi dirinya sendiri) maka di era yang katanya demokrasi yang penuh dengan transparansi ini, korupsi kian menjadi-jadi.

Berbagai kerugian Negara, kemiskinan yang tidak dapat dientaskan, serta berbagai dampak negatif lainnya membuat upaya penanganannya tidak dapat ditawar lagi. Berbagai upaya telah dilakukan mulai dari penerapan konsep clean government, good governance, dan good corporate governance yang pada initinya kesemuanya bertujuan untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik, yang di Indonesia berkonsentrasi pada kepentingan rakyat, hingga pada pembentukan lembaga formal dan non formal untuk memberantasnya. Namun sekali lagi, korupsi masih terus terjadi.

Berangkat dari berbagai polemik di atas, maka hadirnya makalah ini yakni selain sebagai tugas Mata Kuliah Etika Pemerintahan, juga bertujuan untuk mengkaji lebih jauh melalui makalah dengan judul, ”Problematika Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

Adapun hal yang menjadi poin utama dalam pembahasan makalah ini, yakni “bagaimana problematika KKN yang terjadi di Indonesia bila ditinjau dari aspek etika pemerintahan?”

C. Tujuan

Seirama dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari makalah ini yakni: Menghadirkan “ilustrasi” kronis dari penyakit KKN yang semakin merajalela dalam tatanan kehidupan pemerintahan secara khusus, guna memberi pahaman dan penyadaran kepada kita bahwa betapa KKN telah berimplikasi negative yang sangat besar kepada kehiduoan bangsa dan negara, serta merusak etika dan moral pemerintahan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsepsi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)

Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus / politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sedangkan, kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancer. Adapun nepotisme yaitu lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup- yang telah mengambil janji “chastity” , sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung – memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri.

Khusus untuk konsep mengenai korupsi, baru dikenal luas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sejak era modern mulai digulirkan oleh bangsa barat, di mana pada saat itu korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kewenangan demi kepentingan pribadi, khususnya yang menyangkut masalah keuangan. Sekalipun konsepnya mulai baru dikenal pada era modern, namun praktiknya jauh sebelumnya dimulai ketika konsep pembagian keuangan antara keuangan pribadi penguasa dan negara. Sejarawan Onghokham menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal. Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya.

Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau otoritas (kekuasaan), karena dipercaya oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan. Konsep demokrasi sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat. Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara. Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi. Definisi ini hampir sama artinya dengan definisi yang dilontarkan oleh pemerintah Indonesia.

Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Menko Wasbang tentang menghapus KKN dari perekonomian nasional, tanggal 15 Juni 1999, pengertian KKN didefinisikan sebagai praktek kolusi dan nepotisme antara pejabat dengan swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan istimewa. Sementara itu batasan operasional KKN didefinisikan sebagai pemberian fasilitas atau perlakuan istimewa oleh pejabat pemerintah/BUMN/BUMD kepada suatu unit ekonomi/badan hukum yang dimiliki pejabat terkait, kerabat atau konconya.

Menurut Onghokham ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi yang pertama terjadi di tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar. Sementara itu dalam dimensi yang lain, yang umumnya terjadi di kalangan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak. Korupsi yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), proses perizinan di imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan bisnis, dan lain sebagainya.

Dalam konsep pelayanan public, korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) sendiri termasuk di dalam salah satu pathology birokrasi dalam kategori tindakan melawan hukum karena menghianati amanat fungsi dan tujuan birokrasi demi kepentingan pribadi ataupun golongan.

B. Penyebab Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia

Jika kita ingin menelusuri lebih jauh penyebab dari tindakan yang berorientasi KKN paling tidak dapat saya singgung 3 (tiga) aspek besar, yaitu:

1. Etika moral birokrasi pemerintahan yang masih sangat rendah

Sebagai bangsa yang religius seharusnya tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan dapat dihindari. Namun demikian, kenyataan membuktikan lain. Birokrasi pemerintah, mulai dari tingkat elit sampai pada aparatur di tingkat bawah memiliki kecenderungan yang sama untuk berperilaku KKN. Yang berbeda hanyalah porsi atau caranya saja. KKN berawal dari keserakahan materi dan berkembang menjadi kelainan-kelainan yang sifatnya bukan lagi kebendaan. Selain perilaku korup, keserakahan ini juga menyuburkan berbagai bentuk persekongkolan jahat (kolusi) yang hanya menguntungkan kelompok tertentu dengan mengorbankan kepentingan negara. Demikian pula proses nepotisem yang terjadi telah mengakibatkan banyak permasalahan yang tidak lagi mampu diatasi oleh birokrasi pemerintah sendiri.

Penyakit KKN yang melingkupi birokrasi dewasa ini tidak lagi berkaitan dengan tingkat pendidikan. Hal ini terlihat bahwa pada aparatur yang telah memiliki tingkat pendidikan di atas rata-rata, kecenderungannya untuk melakukan KKN justru semakin mewabah.

Banyak pemikiran-pemikiran di lingkungan elit birokrasi pemerintah menjadi terjungkirbalik untuk memberikan pembenaran terhadap perilaku KKN yang dilakukan. Dengan demikian, setiap kebijakan yang lahir akan cenderung menjelma menjadi sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Orang-orang yang masih waras, yang jiwa dan mindset-nya masih belum terjangkit KKN, tidak bisa mengerti bagaimana mungkin orang-orang yang pendidikan dan jabatannya begitu tinggi memakai pengetahuan dan jabatannya untuk merumuskan kebijakan yang sangat merugikan orang banyak dan sangat tidak adil. Dalam membela kebijakannya, ilmu pengetahuan dipakai untuk berargumentasi tanpa alur pikir yang jernih dan tanpa argumentasi, tetapi mengemukakan dalil-dalil yang digebrak-gebrakkan di atas meja diskusi.

2. Rendahnya gaji pegawai negeri

Dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok - pokok Kepegawaian dinyatakan bahwa setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya. Adapun yang dimaksud dengan gaji adil dan layak adalah bahwa gaji PNS tersebut harus mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga PNS dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya dalam melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Amanat UU 43/1999 ini belum dilaksanakan secara sungguh- sungguh. Betapa reformasi birokrasi akan sulit dicapai tanpa memperhatikan kesejahteran pegawai negeri (termasuk TNI dan Polri).

Pegawai negeri adalah manusia, dan memiliki hak asasi untuk hidup layak. Oleh karena itu, adalah tidak adil dan tidak manusiawi bila pegawai negeri hanya disuruh bekerja dengan gaji “perjuangan” saja.

Betapa tidak, selama 3 dekade kepemerintahan orde baru, sistem gaji “perjuangan” ini telah menimbulkan social costs, selain economic costs, yang sangat mahal khususnya dalam bentuk “pembenaran dan penyebaran” praktek-praktek KKN di lingkungan birokrasi pemerintah.

Untuk melakukan penghapusan terhadap social costs tersebut tentu bukan merupakan hal mudah, dan hal yang inilah yang kita hadapi dewasa ini.

Rendahnya kinerja birokrasi tentu sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan mereka yang rendah yang mempengaruhi semangatnya untuk bekerja dengan baik. Bahkan sejak awalnya pegawai negeri tanpa sadar telah terdorong untuk menciptakan tambahan kesejahteraan dengan mensiasati hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan dan tugasnya.

Perilaku KKN itu tidak hanya terjadi antara birokrasi dengan dunia usaha dan masyarakat dalam pemberian jasa pelayanan, tetapi yang lebih tragis adalah bahwa KKN juga terjadi antar birokrasi pemerintah itu sendiri.

3. Kurangnya keteladanan dari pimpinan

Perilaku KKN yang telah mendarahdaging di lingkungan birokrasi pemerintah mulai dari elit sampai pada level yang paling bawah. Pada level atas, keserakahan dan gaya hidup konsumeristik telah mendorong mereka melakukan tindakan di luar kepatutan. Dengan pola hidup mewah namun dengan penghasilan yang jauh dari mencukupi, mengakibatkan banyak sekali birokrat, secara sadar ataupun tidak, telah menggadaikan jabatannya agar kebutuhan komsumtif mereka dapat terpenuhi. Sedangkan pada level bawah, kebutuhan yang mendesak seperti kebutuhan keluarga, kebutuhan membayar utang, kebutuhan pengobatan, kebutuhan untuk membiayai pendidikan anak-anak dan lainnya merupakan bentuk-bentuk dorongan bagi aparat yang berpenghasilan kecil dalam melakukan KKN. Pertanyaan “siapa yang harus memberantas KKN” menjadi kabur. Dengan kondisi ini, pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah yang dapat menjadi panutan menjadi semakin langka.

KKN sudah membuat beberapa elit bangsa kita tidak lagi dapat berpikir secara waras. Nalarnya jungkir balik dan tanpa sadar menyatakannya di mana-mana hal-hal yang sama sekali tidak masuk akal. Kalau perilaku elit birokrasi pemerintah tersebut di atas terus menerus terjadi dan tidak ada shock teraphy sedini mungkin, maka sudah dapat dipastikan bahwa Indonesia tidak mungkin keluar dari permasalahan yang dihadapinya dewasa ini. Pemikiran yang paling ekstrim lagi kalau keadaan ini terus berlanjut, maka tidak tertutup kemungkinan Indonesia di masa mendatang akan seperti Uni Sovyet yang hanya dapat ditemukan kembali dalam buku-buku sejarah

C. Problematika KKN di Indonesia

Saat ini kita telah memasuki tiga belas tahun era reformasi. Namun demikian bangsa ini belum juga dapat terlepas dari keterpurukan dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya keterpurukan etika dan moral. Buruknya etika dan moral ini telah mengakibatkan suburnya praktik KKN dan rendahnya kinerja birokrasi. Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, praktek korupsi makin mudah ditemukan dipelbagai bidang kehidupan.

Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi pilihan lebih utama dibandingkan kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung jawab sistem integritas public. Biro pelayanan publik justru digunakan oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan publik, bukan prioritas dan orientasi yang utama.

Dua alasan ini menyeruak di Indonesia, pelayanan publik tidak pernah termaksimalisasikan karena praktik korupsi dan demokratisasi justru memfasilitasi korupsi. Oleh karena itu upaya untuk dapat segera keluar dari kemelut yang terjadi perlu dicoba dengan berbagai terobosan kebijakan yang berpusat pada strategi untuk mengurangi KKN secara tegas. Permasalahan sebenarnya bukan pada mampu atau tidak mampunya bangsa ini memberantas korupsi, tetapi pada mau atau tidak maunya kita mewujudkan itu. Sebab, kebijakan ke arah pemberantasan KKN sejak era Presiden pertama sampai Presiden saat ini terus menerus dilakukan, tetapi faktanya patologi KKN ini tidak pernah surut, justru sebaliknya. Sehingga tidak berlebihan kalau kebijakan pemberantasan KKN yang selama ini ada hanya menambah tebal lembaran arsip negara saja, tanpa sedikitpun mengurangi kualitas dan kuantitas perilaku korupsi di lingkungan penyelenggara negara baik di pusat maupun di daerah.

Sungguh sangat menyedihkan bahwa KKN telah merasuki hingga tulang sumsum kehidupan penyelenggara negara. Sehingga tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa korupsi telah membudaya di kalangan masyarakat Indonesia.” Suatu predikat yang sangat menyakitkan hati dan merendahkan martabat bangsa ini. Namun demikian, respon dan tanggapan terhadap predikat tersebut ternyata hanya bersifat sementara dan sama sekali tidak menyentuh atau menyelesaikan inti permasalahan KKN itu sendiri. Hingga saat ini, belum timbul suatu pembenaran terhadap “suatu bentuk tindakan hukum memadai” yang memperlihatkan kesungguhan pemerintah dalam melakukan pemberantasan KKN.

Perilaku KKN di lingkungan birokrasi pemerintahan telah menjadi sesuatu yang nyaris tidak terelakkan. Sehingga hampir sulit ditemukan satu institusi pemerintah yang tidak melakukan KKN, sekalipun institusi tersebut adalah institusi yang memiliki kewenangan untuk memberantas KKN.

D. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ditinjau dari Etika Pemerintahan

Dalam etika pemerintahan terdapat istilah pathology, atau yang berarti penyakit birokrasi. Patology birokrasi ini dapat berupa penyakit birokrat yang diakbatkan oleh tindakan melawan hukum, yang sejajar dengan suap, penipuan, bahkan tindakan criminal lainnya.

Dari perbincangan seputar korupsi, hal yang paling mendasar mengenai penyebab KKN itu yakni dikarenakan terkait dengan karakter manusia, yakni keimanan, kejujuran, moral, dan etika dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Karena setinggi apa pun gelar akademik seorang birokrat, jika ia tidak memiliki keimanan, kejujuran, moral dan etika, ia akan menjadi komponen perusak birokrasi. Semakin tinggi kekuasaannya, maka semakin destruktif pula perannya, sehingga birokrasi menjadi disfungsional. Lihatlah betapa lumpuhnya layanan publik sebagai akibat tindak pidana korupsi yang terjadi.

Keberadaan birokrasi itu sendiri sebenarnya bertujuan mulia, yaitu sebagai prosedur (baku) demi tercapainya suatu tujuan secara efektif. Namun, tatkala diawaki oleh orang-orang yang tidak professional, birokrasi justru bercita buruk, yakni sebuah proses yang kaku, ketidakefisienan sogokmenyogok dan suap-menyuap semakin marak. Sehingga dengan carut-marutnya birokrasi di negeri ini, maka tumbuh-suburlah korupsi, kolusi dan nepotisme.

Sebenarnya, sejumlah permasalahan akibat KKN yang semakin kronis ini dapat dihindari seandainya nilai – nilai Pancasila dapat kita maknai dan amalkan. Hal yang perlu menjadi kesadaran bersama bahwa dalam kehidupan Negara kita, diterimanya pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai pancasila dijadikan landasan pokok, landasan fundamental bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila berisi lima sila yang pada hakikatnya berisi lima nilai dasar yang fundamental. Nilai-nilai dasar dari pancasila tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalan permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dengan pernyataan secara singkat bahwa nilai dasar Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.

Dengan senantiasa menjadikan nilai dasar Pancasila sebagai sumber pembentukan norma etik (norma moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka para penyelenggara pemerintahan (birokrat) akan jauh dari hasrat – hasrat memperkaya diri sendiri dengan jalan melawan hukum.

Nilai-nilai pancasila adalah nilai moral. Oleh karena itu, nilai pancasila juga dapat diwujudkan kedalam norma-norma moral (etik). Norma-norma etik tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa indonesia saat ini sudah berhasil merumuskan norma-norma etik sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma etik tersebut bersumber pada pancasila sebagai nilai budaya bangsa. Rumusan norma etik tersebut tercantum dalam ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan Bermasyarakat. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang etika Kehidupan Berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat merupakan penjabaran nilai – nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat.

Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif; menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat; menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang; serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan mengamanatkan agar para pejabat memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila dirinya merasa telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan Negara.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan penyakit paling kronis yang menimpa bangsa kita pada saat ini. Penyakit yang membuat sebagian besar penyelenggara pemerintahan kita menjadi penuh hasrat untuk memperkaya diri sendiri atau golongannya, tidak professional dalam mengemban amanah rakyat, serta jauh dari pemenuhan pelayanan public yang baik ini adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan hukum, apalagi dari nilai – nilai dasar Pancasila. Ditinjau dari segi apapun, KKN tetaplah perbuatan yang tidak terpuji. KKN telah merusak bangsa dari segala aspek, baik ekonomi, politik, sosbud, serta yang paling parah yakni etika dan moral bangsa.

Sebelumnya, permasalahan etika telah diatur dalam ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan Bermasyarakat. Dari aspek pemerintahan, etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif; menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat; menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang; serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan mengamanatkan agar para pejabat memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila dirinya merasa telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan Negara.

Jika disimak, bila saja kesemuanya ini terjiwai dalam setiap penyelenggaraan tugas pemerintahan, maka tentu saja problematika KKN yang saat ini menghinggapi kehidupan berbangsa kita pasti akan dapat diatasi secara sedikit demi sedikit.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Posting Komentar