Patology Birokrasi
Dalam sebuah kutipan singkat, Saya mendapatkan bahwa birokrasi merupakan satu sistem pemerintahan yg dijalankan oleh pegawai pemerintah krn telah berpegang pd hierarki dan jenjang jabatan; serta dapat pula diartikan sebagai cara bekerja atau susunan pekerjaan yg serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dsb) yg banyak liku-likunya dsb.
Dari pengertiannya yang kedua, maka kita mungkin saja dapat terjerat pada kesimpulan bahwasanya birokrasi merupakan hal yang negatif. Apabila pengertian birokrasi (secara administrasi) menurut Max Weber yakni tenaga profesional yang digaji oleh negara, maka Karl Marx lebih senang menyebutnya dengan patology (berarti : penyakit). Perlu ditekankan bahwa paradigma inilah yang tengah terpatron dalam masyarakat.
Patologi birokrasi merupakan penyakit, perilaku negatif, menyimpang, yang dilakukan oleh pejabat atau lembaga brokrasi dalam rangka melayani publik, menjalankan tugas, dan melaksanakan pembangunan. ( Taliziduhu Ndraha, Mifta Thoha, Peter M Blau, David Osborne, JW Schoorl).
Contoh – contoh patology birokrasi menurut Ombudsman, antara lain: penanganan berlarut – larut, penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, praktik KKN /imbalan, melalaikan kewajiban, pemalsuan, keberpihakan, penggelapan barang bukti, bertindak tidak layak, intervensi, serta inkompetensi.
Khusus pada hal ini, yang ingin Saya soroti adalah patologi birokrasi dalam hal penangan berlarut – larut karena menurut data Ombudsman, hal inilah yang menjadi keluhan terbesar masyarakat yakni sebanyak 16%.
Birokrasi merupakan pelayan publik. Memiliki fungsi pemberdayaan, fasilitasi dan pelayanan. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan yang memadai dari aparat Negara. Birokrasi itu representasi Negara, tangan-tangan Negara yang melaksanakan tugas untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat. Namun pada kenyataannya, birokrasi yang tugasnya selama ini harusnya melayani menjadi dilayani. Tak heran kemudian, apabila masalah yang mestinya sederhana, bisa berlarut-larut jika berurusan dengan birokrasi.
Mentalitas birokrat yang seperti itu, memang memiliki akar budaya yang panjang. Sudah sejak lama, sejak jaman penjajahan posisi birokrat (pamong praja) memiliki kedudukan atau kelas terhormat dalam struktur masyarakat kita. Menduduki sebagai kelas social yang tersendiri dan terhormat. Sejak jaman dulu, birokrasi itu selalu memihak kepada kepentingan atasan. Tak jarang ia menjadi alat kepentingan politik yang berkuasa.
Pada jaman Orde Baru sangat jelas. Birokrasi yang harusnya netral telah menjadi alat politik, menjadi mesin politik, dan memang berpolitik (bureaucratic polity). Konsekuensi logis dari birokrasi yang berpolitik itu, kemudian masalah pelayanan kepada masyarakat menjadi rendah. Terabaikan sama sekali. Tak hanya itu, kinerja birokrasi juga lamban. Tidak cekatan untuk melayani masyarakat. Disamping juga seringkali diskriminatif dalam melakukan pelayanan. Terhadap lawan-lawan politik, dipersulit sebaliknya terhadap relasi politik atau yang sealiran politiknya, dilapangkan jalannya. Tak jarang juga lewat pintu belakang. Dan di era sekarang, birokrasi masih muncul dengan wajah yang serupa. “Kalau bisa lama, kenapa harus cepat?” Kalimat itu sempat menjadi olok-olokan untuk wajah birokrasi Indonesia yang dikenal korup dan bertele-tele. Untuk mengurus perizinan pendirian pabrik, misalnya, investor bisa menunggu persetujuan hingga tiga tahun. Indonesia dianggap negara yang kurang menarik untuk investor karena birokrasinya yang rumit dan panjang. Hal itu karena antara pemerintah, pengusaha dan investor belum ada satu persepsi yang sama mengenai permasalahan birokrasi yang dihadapi dunia usaha. Pemerintah masih menganggap dunia usaha hanya sebagai sumber pendapatan negara, padahal kan lebih dari itu. Investasi juga bisa memberikan kontribusi untuk lapangan kerja, demand intensity, dan menggerakkan perekonomian. Sayangnya permasalahan pelayanan berbelit – belitnya birokrasi, membuat pergerakan ekonomi menjadi cukup terhambat, dan ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh dan dampak dari hal tersebut.
Dalam sebuah kutipan singkat, Saya mendapatkan bahwa birokrasi merupakan satu sistem pemerintahan yg dijalankan oleh pegawai pemerintah krn telah berpegang pd hierarki dan jenjang jabatan; serta dapat pula diartikan sebagai cara bekerja atau susunan pekerjaan yg serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dsb) yg banyak liku-likunya dsb.
Dari pengertiannya yang kedua, maka kita mungkin saja dapat terjerat pada kesimpulan bahwasanya birokrasi merupakan hal yang negatif. Apabila pengertian birokrasi (secara administrasi) menurut Max Weber yakni tenaga profesional yang digaji oleh negara, maka Karl Marx lebih senang menyebutnya dengan patology (berarti : penyakit). Perlu ditekankan bahwa paradigma inilah yang tengah terpatron dalam masyarakat.
Patologi birokrasi merupakan penyakit, perilaku negatif, menyimpang, yang dilakukan oleh pejabat atau lembaga brokrasi dalam rangka melayani publik, menjalankan tugas, dan melaksanakan pembangunan. ( Taliziduhu Ndraha, Mifta Thoha, Peter M Blau, David Osborne, JW Schoorl).
Contoh – contoh patology birokrasi menurut Ombudsman, antara lain: penanganan berlarut – larut, penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, praktik KKN /imbalan, melalaikan kewajiban, pemalsuan, keberpihakan, penggelapan barang bukti, bertindak tidak layak, intervensi, serta inkompetensi.
Khusus pada hal ini, yang ingin Saya soroti adalah patologi birokrasi dalam hal penangan berlarut – larut karena menurut data Ombudsman, hal inilah yang menjadi keluhan terbesar masyarakat yakni sebanyak 16%.
Birokrasi merupakan pelayan publik. Memiliki fungsi pemberdayaan, fasilitasi dan pelayanan. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan yang memadai dari aparat Negara. Birokrasi itu representasi Negara, tangan-tangan Negara yang melaksanakan tugas untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat. Namun pada kenyataannya, birokrasi yang tugasnya selama ini harusnya melayani menjadi dilayani. Tak heran kemudian, apabila masalah yang mestinya sederhana, bisa berlarut-larut jika berurusan dengan birokrasi.
Mentalitas birokrat yang seperti itu, memang memiliki akar budaya yang panjang. Sudah sejak lama, sejak jaman penjajahan posisi birokrat (pamong praja) memiliki kedudukan atau kelas terhormat dalam struktur masyarakat kita. Menduduki sebagai kelas social yang tersendiri dan terhormat. Sejak jaman dulu, birokrasi itu selalu memihak kepada kepentingan atasan. Tak jarang ia menjadi alat kepentingan politik yang berkuasa.
Pada jaman Orde Baru sangat jelas. Birokrasi yang harusnya netral telah menjadi alat politik, menjadi mesin politik, dan memang berpolitik (bureaucratic polity). Konsekuensi logis dari birokrasi yang berpolitik itu, kemudian masalah pelayanan kepada masyarakat menjadi rendah. Terabaikan sama sekali. Tak hanya itu, kinerja birokrasi juga lamban. Tidak cekatan untuk melayani masyarakat. Disamping juga seringkali diskriminatif dalam melakukan pelayanan. Terhadap lawan-lawan politik, dipersulit sebaliknya terhadap relasi politik atau yang sealiran politiknya, dilapangkan jalannya. Tak jarang juga lewat pintu belakang. Dan di era sekarang, birokrasi masih muncul dengan wajah yang serupa. “Kalau bisa lama, kenapa harus cepat?” Kalimat itu sempat menjadi olok-olokan untuk wajah birokrasi Indonesia yang dikenal korup dan bertele-tele. Untuk mengurus perizinan pendirian pabrik, misalnya, investor bisa menunggu persetujuan hingga tiga tahun. Indonesia dianggap negara yang kurang menarik untuk investor karena birokrasinya yang rumit dan panjang. Hal itu karena antara pemerintah, pengusaha dan investor belum ada satu persepsi yang sama mengenai permasalahan birokrasi yang dihadapi dunia usaha. Pemerintah masih menganggap dunia usaha hanya sebagai sumber pendapatan negara, padahal kan lebih dari itu. Investasi juga bisa memberikan kontribusi untuk lapangan kerja, demand intensity, dan menggerakkan perekonomian. Sayangnya permasalahan pelayanan berbelit – belitnya birokrasi, membuat pergerakan ekonomi menjadi cukup terhambat, dan ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh dan dampak dari hal tersebut.