Sengkang kota yang kental dengan praktek KKN ( kolusi, korupsi, dan nepotisme), kurang lebih kalimat seperti itu yang Saya dapatkan ketika mengakses berita seputar praktik politik dan pilkada di Sengkang, Kabupaten Wajo.
Bukan sekedar karangan bebas, namun setidaknya pada realita yang terjadi, kondisi tersebutlah yang benar terjadi. Bahkan (bila harus berkata secara blak – blakan) hal ini pun sudah dilakukan secara terang – terangan. Misalnya saja yang paling jelas disimak ialah praktik back campaign berupa money poitic pada masa kampanye pilkada. Hingga memunculkan suatu stigma dalam masyarakat bahwa seyogyanya money politic tidak bisa dibuktikan. Pameo yang menyatakan bahwa money politic sangat sulit dibuktikan, sengaja diciptakan untuk melegitimasi perbuatan tersebut. Seolah-olah ada pembenaran di dalamnya, sehingga tidak perlu dipermasalahkan ketika itu terjadi.
Kerapkali pernyataan bahwa terjadinya money politic adalah suatu perbuatan yang sudah seyogyanya terjadi, tidak dapat dihindari sebagai konsekuensi dari sebuah kerja untuk mencapai tujuan. Machiavelli, dalam bukunya yang sangat terkenal Le Prince (Sang Pangeran), bahwa untuk mencapai sesuatu anda dapat melakukan apa saja, yang penting tujuan tercapai. Kemudian statement ini sangat populer bahwa politik, sebagaimana halnya dengan money politic, menghalalkan segala cara untuk sebuah kursi kekuasaan. Padahal, alat bukti itu tidak selalu harus di atas kertas, pengakuan seseorang pun menjadi alat bukti yang patut menjadi pertimbangan, ataupun penelusuran aliran dan penggunaan dana, terlebih lagi kalau kita dapat mengaplikasikan azas pembuktian terbalik.
Sungguh sudah sangat banyak persoalan perekonomian yang menjadi bagian dari perjalanan perpolitikan di Sengkang, Kabupaten Wajo. Bahkan bila dilampirkan atau diceritakan satu persatu pun, maka waktu dan lembaran kertas tak akan mampu mewaikiinya. Seakan semua sendi kehidupan masyarakat telah terjebak pada statmen Machiavelli. Mulai dari pemanfaatan posisi sebagai pemegang toritas tertinggi dari suatu instansi yang kemudian membuat orang tersebut leluasa untuk melakukan pola rekrutmen yang nepotisme, leluasa untuk korupsi misalnya yang terjadi di SMP Negeri 1 Sengkang, pola pengangkatan jabatan PNS, bahkan kasus krupsi oleh Kepala Desa Lampulung, Kecamatan Pammana, dengan dakwaan korupsi alokasi dana desa yang mengakibatkan kerugian Rp 49 juta yang juga tersangka dalam kasus pembunuhan Hasdawati, Bendahara Dinas Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Wajo. Lagi – lagi semua ini dapat ditinjau bahwa rentetan kasus tersebut dapat terjadi akibat proses ekonomi politik yang tidak sehat.
Bukan sekedar karangan bebas, namun setidaknya pada realita yang terjadi, kondisi tersebutlah yang benar terjadi. Bahkan (bila harus berkata secara blak – blakan) hal ini pun sudah dilakukan secara terang – terangan. Misalnya saja yang paling jelas disimak ialah praktik back campaign berupa money poitic pada masa kampanye pilkada. Hingga memunculkan suatu stigma dalam masyarakat bahwa seyogyanya money politic tidak bisa dibuktikan. Pameo yang menyatakan bahwa money politic sangat sulit dibuktikan, sengaja diciptakan untuk melegitimasi perbuatan tersebut. Seolah-olah ada pembenaran di dalamnya, sehingga tidak perlu dipermasalahkan ketika itu terjadi.
Kerapkali pernyataan bahwa terjadinya money politic adalah suatu perbuatan yang sudah seyogyanya terjadi, tidak dapat dihindari sebagai konsekuensi dari sebuah kerja untuk mencapai tujuan. Machiavelli, dalam bukunya yang sangat terkenal Le Prince (Sang Pangeran), bahwa untuk mencapai sesuatu anda dapat melakukan apa saja, yang penting tujuan tercapai. Kemudian statement ini sangat populer bahwa politik, sebagaimana halnya dengan money politic, menghalalkan segala cara untuk sebuah kursi kekuasaan. Padahal, alat bukti itu tidak selalu harus di atas kertas, pengakuan seseorang pun menjadi alat bukti yang patut menjadi pertimbangan, ataupun penelusuran aliran dan penggunaan dana, terlebih lagi kalau kita dapat mengaplikasikan azas pembuktian terbalik.
Sungguh sudah sangat banyak persoalan perekonomian yang menjadi bagian dari perjalanan perpolitikan di Sengkang, Kabupaten Wajo. Bahkan bila dilampirkan atau diceritakan satu persatu pun, maka waktu dan lembaran kertas tak akan mampu mewaikiinya. Seakan semua sendi kehidupan masyarakat telah terjebak pada statmen Machiavelli. Mulai dari pemanfaatan posisi sebagai pemegang toritas tertinggi dari suatu instansi yang kemudian membuat orang tersebut leluasa untuk melakukan pola rekrutmen yang nepotisme, leluasa untuk korupsi misalnya yang terjadi di SMP Negeri 1 Sengkang, pola pengangkatan jabatan PNS, bahkan kasus krupsi oleh Kepala Desa Lampulung, Kecamatan Pammana, dengan dakwaan korupsi alokasi dana desa yang mengakibatkan kerugian Rp 49 juta yang juga tersangka dalam kasus pembunuhan Hasdawati, Bendahara Dinas Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Wajo. Lagi – lagi semua ini dapat ditinjau bahwa rentetan kasus tersebut dapat terjadi akibat proses ekonomi politik yang tidak sehat.
0 comments:
Posting Komentar