Adanya lonjakan jumlah partai politik yang lolos pada verifikasi parpol yang dinyatakan berhak ikut pemilu menimbulkan beberapa pertanyaan, misalnya “apa yang kira – kira menyebabkan antusiasme ikut pemilu bagi sejumlah parpol?” dan “apa pengaruh lonjakan jumlah parpol peserta pemilu tersebut bagi pemilu dan kehidupan perpolitikan Indonesia kedepannya?”
Jika kita menruntut sejarah parpol dan pemilu, maka akan lahir spekulasi bahwa (mungkin) saja akan terjadi pengerucutan partai kembali pada pemilu 2009, misalnya jika kita urut dari pemilu pasca penggulingan rezim orba sejak dari pemilu tahun 1999 yang terdapat 49 parpol, kemudian dikecilkan lagi menjadi 24 parpol pada pemilu 2004. Namun, tak disangka kemudian bahwa ternyata yang tercatat lolos verifikasi itu sebanyak 38 partai.
Penyebabnya mungkin saja, akibat gejolak dari semangat berdemokrasi yang diperlihatkan melalui terakomodasinya hasrat – hasrat untuk terlibat langsung dalam ruang – ruang politik melalui kendaraan partai yang menanunginya, maka berhamburanlah orang – orang mendirikan parpol.
Akibatnya yang kemungkinan hadir, antara lain :
1. Makin banyak parpol, makin besar pula beban APBN
Berdasarkan Undang Undang no 2 tahun 2008 tentang partai politik disebutkan bahwa sumber dana partai politik berasal dari :
• iuran anggota
• sumbangan yang sah menurut hukum
• bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dari poin nomor tiga, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak parpol maka APBN/APBD akan semakin terbebani. Sungguh ironi sekali, disaat himpitan ekonomi yang semakin menyengsarakan rakyat, justru Partai politik berlomba-lomba untuk mendaftarkan diri menjadi peserta pemilu 2009. Walaupun mereka menggembar gemboran “Akan Memperjuangan rakyat” namun toh sama saja menyengsaraan rakyat. Bukankah dengan mengambil dana dari APBN/APBD sama juga mengambil dana dari rakyat?
2. Adanya Oknum yang tidak bertanggung jawab
Yang dimaksud dengan oknum tidak bertanggung jawab adalah para pendiri parpol yang sengaja memanfaatkan kesempatan menjelang pemilu 2009. Apa kesempatan itu? Yaitu berupa bantuan dana dari pemerintah yang diambilkan dari APBN/APBD. Salah satu pejabat KPU menyatakaan bahwa ada salah satu parpol yang tidak mencantuman alamatnya dengan tepat, alhasil setelah ditinjau kelapangan, yang diperoleh adalah warung kopi. Bukan sekretariat partai politik. Setelah dimintai keterangan, si pendiri parpol tersebut mengatakan dengan enteng : “Yaaa… dengan begini kan nantinya saya dapat bantuan dari pemerintah“.
Adapun beberapa peristiwa dan wacana lain yang muncul seputar penyelenggaraan pemilu 2009 khususnya pemilu capres dan cawapres untuk periode 2009 - 2014, yakni pasangan JK-Wiranto dan Megawati-Prabowo mengajukan keberatan terhadap hasil rekapitulasi perolehan suara Pilpres 2009 yang telah ditetapkan KPU ke Mahkamah Konstitusi (MK), masing-masing dengan perkara nomor 108/PHPU.B-VII/2009 dan 109/PHPU.B-VII/2009. Isi keberatan yang diajukan kedua pasangan antara lain sebagai berikut:
• Kekacauan masalah penyusunan dan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT)
• Regrouping dan/atau pengurangan jumlah TPS
• Adanya kerjasama atau bantuan IFES
• Adanya spanduk buatan KPU mengenai tata cara pencontrengan
• Beredarnya formulir ilegal model “C-1 PPWP”
• Adanya berbagai pelanggaran administratif maupun pidana
• Adanya penambahan perolehan suara SBY-Boediono serta pengurangan suara Mega-Prabowo dan JK-Wiranto.
KPU berikut KPUD seluruh Indonesia menjadi termohon dan Bawaslu serta pasangan SBY-Boediono menjadi pihak terkait. Sidang kedua perkara ini digabungkan oleh MK karena melihat adanya kesamaan pokok perkara. Persidangan terbuka dilaksanakan sebanyak 4 kali yaitu pada tanggal 4 Agustus 2009 (pemeriksaan perkara), 5 Agustus 2009 (mendengar keterangan termohon, pihak terkait, keterangan saksi, dan pembuktian), dan 6-7 Agustus 2009 (pembuktian). Pada tanggal 12 Agustus 2009, majelis hakim konstitusi membacakan putusannya, dimana dalam amar putusan menyatakan bahwa permohonan ditolak seluruhnya. Putusan ini diambil secara bulat oleh seluruh hakim konstitusi, tanpa dissenting opinion.
Setelah keluarnya putusan MK tersebut, pada 18 Agustus 2009, KPU menetapkan SBY-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2009-2014.
Diantara banyaknya wacana dan kejadian seputar penyelenggaraan pemilu pada tahun 2009 lalu, yang berakhir dengan kemenangan SBY – Boediono, maka dapat mengindikasikan bahwa penyelenggaraan pemilu yang bersih dari praktek black campaign dan persaingan secara sehat antarkandidat masih sangat jauh dari angan – angan. Sementara, apapun namanya, nasib bangsa selama tiga tahun berada pada bagaimana penyelenggaraan pemilu yang tak cukup dari satu hari tersebut.
Pemilu menjadi sebuah konsekunsi logis dari kedaulatan rakyat yang kita anut. Namun kenyataannya, selalu terbuka peluang penyimpangan kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan penguasa. Pada tingkatnya yang ideal, Pemilu adalah peristiwa politik yang membuka kemungkinan bagi terjadinya pergantian kekuasaan secara damai dan teratur. Serta, adapun output pemilu yang diharapkan berupa pemerintah yang absah, yaitu pemerintah yang bisa memberikan kesejahteraan dan ketenteraman pada hidup mereka. Karena itu harus menjadi perhatian kita, apakah pergantian pemerintahan akan menjamin kelangsungan tahap pembangunan yang sudah kita capai saat ini dan kalau mungkin meningkatkannya.
Di dalam pemilu, yang harus dikedepankan adalah program. Itulah yang
ditawarkan ke rakyat. Dan kalau mereka terpilih harus dilaksanakan. Kalau
tidak, mereka harus mempertanggungjawabkannya. Apakah ini terjadi di Indonesia?? Sepertinya untuk saat ini masih jauh dari itu, semoga kedepannya bisa semakin baik.
http://aditcenter.wordpress.com/2008/07/13/kejanggalan-pemilu-2009-bagi/
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_Umum_Presiden_dan_Wakil_Presiden_Indonesia_2009
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/06/12/0020.html
0 comments:
Posting Komentar