BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangPENDAHULUAN
Pemilihan umum sebagai sebuah proses politik yang dinamis hanya bisa berjalan lancar dan tertib bila tiap kontestan peserta pemilu mengikuti aturan main yang sudah disepakati sebelumnya. Upaya mewujudkan pemilu demokratis yang jujur dan adil bertujuan untuk menghindari terjadinya delegitimasi pemilu karenanya masalah-masalah penegakan hukum pemilu harus diselesaikan secara menyeluruh melalui identifikasi yang menjadi pemicu permasalahan dan dicari solusi agar hukum bisa ditegakkan.
Pemilu secara langsung merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara yang mempunyai integritas, profesionalitas dan akuntabilitas.
Pengawasan menjadi salah satu terpenting dalam menentukan berhasil atau tidaknya sebuah pemilu. Pengawasan Pemilu adalah kegiatan mengamati, mengkaji, memeriksa, dan menilai proses penyelenggaraan Pemilu sesuai peraturan perundang-undangan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) pada semua tingkatan memiliki peran penting menjaga agar pemilu terselenggara dengan demokratis secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Upaya mewujudkan pemilu yang jujur, adil dan untuk menghindari terjadinya delegitimasi pemilu, masalah-masalah penegakkan hukum pemilu harus diselesasikan secara komprensif. Perlu mengidentifikasi pemicu masalah yang kemudian dicari solusi agar hukum bisa ditegakkan.
Olehnya itu, dengan hadirnya makalah ini, maka Kami berharap agar perkembangan pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia pasca terjadinya reformasi tahun 1998 dapat Kita ketahui, serta meningkatkan daya analisis kita terkait permasalahan – permasalahan seputar pemilu yang pernah atau sedang saat terjadi saat ini, guna menemukan solusi yang bijak dalam menghadapi segala permasalahan pelik tersebut.
B. Rumusan Masalah
Hal yang dianggap sebagai sebuah masalah dan penting untuk ditemukan langkah solutifnya pada pembahasan makalah ini, yakni : “Bagaimana pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia pasca reformasi, serta masalah – masalah apa saja yang telah atau tengah dihadapi dimensi politik Negara Indonesia? Langkah solutif seperti apakah yang dapat ditawarkan guna keluar dari permasalahan mendasar dari proses awal perpolitikan dan pemerintahan Indonesia hari ini?”
C. Kerangka Konsep
1. Teori Sistem Politik dan Negara
Sistem Politik adalah sebagai serangkaian proses yang terdiri dari banyak bagian-bagian, saling berkaitan yang menjalankan alokasi nilai-nilai (berupa kebijakan-kebijakan atau keputusan) yang alokasinya bersifat otoritatif (dikuatkan oleh kekuasaan yang sah sah) dan mengikat masyarakat.
Teori ini mulai mencuat pada awal 1950-an. Tiga penulis terkenal dalam mengembangkan teori ini adalah : David Easton, dalam bukunya yang berjudul “The Politic System”, konsep yang ditawarkan seperti : konsep input / output, tuntutan (demands) dan dukungan (support), serta umpan balik (feedback).
Tokoh yang kedua adalah Gabriel Almond. Awalnya Almod menawarkan suatu klasifikasi sederhana tentang sistem – sistem politik (“Journal of Politics”), yang mencakup sistem politik di luar dunia Barat, negara – negara yang baru merdeka. Tokoh yang ketiga : Karl Deutsch, dengan karyanya “Nerves of Government”.
2. Teori Partai Politik
Sebagai bagian dari sebuah kelembagaan dalam konteks negara demokratis, partai politik memiliki posisi (Status) dan peranan (Role) yang begitu sentral dalam menghubungkan pandangan-pandangan umum yang timbul dalam masyarakat dengan pemerintah. Seorang tokoh yaitu Schattscheider berpendapat mengenai peranan partai politik yang memiliki peran dalam pembentukan corak demokrasi dalam suatu negara, ia menyatakan “Political parties created democracy”.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 pengertian partai politik seperti yang telah disebutkan di atas adalah sebuah lembaga nasional yang diidentifikasikan sebagai lembaga yang mengedepankan kepentingan politik anggota-anggotanya.
Sistem multipartai adalah format sistem yang umum di beberapa negara di dunia yang berdasarkan sistem perwakilan proporsional, dalam tipe ini proporsi jumlah kursi di dewan perwakilan tergantung jumlah proporsi suara yang diterima pada pemilihan, dan apabila dalam pemilihan tidak ada satu partai pun yang memenangkan suara mayoritas, maka konsekwensinya adalah pembentukan pemerintahan koalisi. Sedangkan dalam sistem dua-partai tunggal kontrol pemerintahan hanya berkutat dengan dua partai tersebut saja. Adapun yang terakhir adalah sistem partai tunggal yang pada umumnya terdapat dalam sistem negara komunis, dalam sistem ini tidak ada kompetisi dan perbedaan pandangan dengan partai politik yang lain.
3. Pemilu
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye.
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. (berkaitan dengan istilah “demokrasi”).
4. Demokrasi
Secara etimologi demokrasi adalah gabungan dua kata yaitu Demos (Masyarakat) dan Kratos (Memerintah). Sedangkan secara terminologi Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaannya berada di tangan rakyat, namun pengertian yang sederhana tersebut pada kelanjutannya akan berkembang sesuai dengan konfigurasi politik yang terus berkembang seperti halnya pada abad ke 19 yang melahirkan paham demokrasi konstitusional yang kemudian berkembang menjadi negara hukum dan kesejahteraan welfare state. Pada tataran negara demokratis modern, Henry B. Mayo mendefinisikan bahwa:
“sistem pemerintahan yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.”
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Pemilu Pasca ReformasiPEMBAHASAN
Di Indonesia, pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sebagai wujud konkret kedaulatan rakyat maka pelaksanaan pemilu terus diupayakan kesempurnaan dalam penyelenggaraan. Kesempurnaan dalam kaitan ini akan menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Dan hal ini pada gilirannya akan memberikan citra yang lebih baik terhadap pelaksanaan demokrasi seperti yang dicita-citakan. Salah satu instrumen untuk meningkatkan kualitas pemilu adalah pelaksanaan asas luber dan jurdil yaitu kepanjangan akronim Langsung, Umum, Bebas, Rahasia dan Jujur dan Adil.
Pemilihan umum sering dikatakan sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem demokrasi. Hal ini lantaran dalam pemilihan umum setiap warga dapat mengapresiasikan hak suaranya untuk memilih wakil yang dipercayai mewakili lembaga legislatif.
Pada masa reformasi, distribusi kekuatan antarpartai mengalami fluktuasi. Pemilu 1999 menghasilkan 6 partai yang memperoleh kursi DPR (dari 48 partai yang bertarung dalam pemilu) dengan komposisi kursi sebagai berikut: PDI-P (153), Partai Golkar (120), PPP (58), PKB (51), PAN (41), dan PBB (13). Pemilu 2004 yang diikuti partai yang lebih sedikit dibanding pemilu 1999 (hanya 24 partai) justru menghasilkan distribusi kekuatan antarpartai yang jauh lebih bervariasi. Berturut-turut jumlah kursi yang dimenangkan adalah Partai Golkar (133), PDI-P (108), PPP (57), Partai Demokrat (57), PKB (53), PAN (49), PKS (45), PBR (13), PBB (11), PDS (10), PKPI (3), Partai Merdeka (2), PKPB (2), PPDK (2), PPIB (1), PPDI (1). Dengan demikian, dari 24 partai yang mengikuti Pemilu 2004, terdapat 16 partai yang memperoleh kursi DPR; tetapi dari 16 partai yang memperoleh kursi DPR tersebut hanya sepuluh partai yang memperoleh sepuluh kursi atau lebih, dan hanya tujuh partai yang memperoleh kursi lebih dari lima persen.
Meski perhitungan perolehan kursi DPR belum selesai dilakukan oleh KPU, tapi dari hasil perhitungan cepat (quick count) oleh beberapa lembaga survei menunjukkan hasil sementara (yang biasanya tidak akan jauh beda dengan hasil sesungguhnya) sepuluh besar partai di Indonesia kurang lebih sebagai berikut: Partai Demokrat (20,1%), Partai Golkar (14,2%), PDI-P (14%), PKS (8,2%), PAN (6,3%), PPP (5%), PKB (5%), Partai Hanura (4%), Gerindra (3%), PBR (1,3%). Hasil Pemilu 2004 dan 2009 menunjukkan meski perolehan suara sepuluh besar partai di Indonesia berubah-ubah (kecuali PKS dan PAN yang relatif stabil), tetapi dari puluhan partai yang ikut pemilu memang hanya sepuluh partai yang bisa memperoleh kursi atau suara lebih dari 1%.
Jelas bahwa meski jumlah partai yang mampu memperoleh suara signifikan konsisten pada angka sekitar 10 partai, tetapi distribusi kekuatan antarpartai semakin merata. Hal ini tentu terkait dengan potensi integrasi sistem kepartaiannya.
Pelaksanaan Pemilihan Umum anggota legislatif tahun 2009 merupakan pemilu ketiga di era reformasi. Sejak reformasi, iklim politik semakin terbuka sehingga mendorong munculnya puluhan partai politik. Tercatat di tahun 1999 Pemilu Indonesia diikuti oleh 48 partai politik, Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai. Sedangkan di tahun 2009, Pemilu mencapai 38 partai politik. Dalam pelaksanaanya Pemilu 1999 dianggap cukup demokratis bagi banyak kalangan. Meski masih banyak juga masalah yang muncul dalam pelaksanaannya, seperti ketidaknetralan penyelenggara pemilu, ketidakkonsistenan aturan pemilu, konflik dalam penentuan calon-calon, pendanaan pemilu, hingga pengawasan pemilu.
Untuk Pemilu 2004 sebagai konsekuensi perubahan (amandemen) UUD 1945 ke empat kalinya, ada banyak hal baru yang diperkenalkan. Selain pemilihan anggota legislatif (DPR/DPRD), untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia dikenal sistem pemilihan presiden langsung dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sistem pemilu pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 untuk pemilu legislatif DPR/DPRD menggunakan sistem daftar proporsional setengah terbuka di mana pemilih wajib mencoblos tanda gambar partai atau tanda gambar dan nama calon legislatif. Sedangkan untuk penentuan calon anggota DPD terpilih menggunakan Simple Majority dengan multi-member constituency (berwakil banyak).
Sementara itu, KPU sebagai penyelenggara Pemilu 2004 tidak lagi diisi oleh anggota yang berasal dari wakil-wakil partai politik seperti pada Pemilu 1999 melainkan oleh individu nonpartisan yang dipilih oleh DPR.
Sedangkan untuk badan pengawas melalui undang-undang yang sama terdapat perubahan eksistensi di mana Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat ini lebih independen dan secara struktural Bawaslu memiliki posisi strategis dalam membentuk Panwaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota. Tugas Bawaslu adalah mengawal setiap tahapan Pemilu 2009 dan berwenang untuk memberikan rekomendasi ke KPU untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran serta memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana pemilu. Namun sebenarnya kerja badan pengawas ini tetap dibatasi hanya pada pelaporan terhadap pelanggaran administratif dan rekomendasi terhadap pelanggaran pidana pemilu. Belum lagi saat ini banyak panwaslu yang belum terbentuk sehingga beberapa tahapan pemilu di daerah yang sudah dimulai tidak terawasi.
Meskipun banyak kelebihannya, Pemilu 2009 diprediksi akan terjadi banyak pelanggaran dan perselisihan. Mengingat jumlah kontestan pemilu yang lebih banyak dibandingkan Pemilu 2004 ataupun pengaturan tentang pidana pemilu yang semakin banyak dan beragam. Beberapa mekanisme disiapkan di dalam UU 10 tahun 2008 untuk menyelesaikan sengketa pemilu.
Direktur Centre for Electoral Reform (CETRO), Hadar Navis Gumay menyebut minimal terdapat empat potensi masalah pada Pemilu 2009. Pertama, penentuan calon legislator (caleg) terpilih. Menurutnya, penentuan caleg terpilih dalam UU No 10 Tahun 2008 berdasarkan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) 30 persen. Sementara ada partai politik yang membuat konsensus internalnya bahwa penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Oleh karena itu, perbedaan penentuan caleg terpilih ini, apakah berdasarkan suara terbanyak atau berdasarkan BPP 30 persen akan berpotensi timbulnya konflik terutama antarcaleg dalam satu partai politik. Untuk itu, diusulkan kepada DPR dan pemerintah perlu melakukan amandemen (revisi) terbatas UU Pemilu khususnya pengaturan mekanisme penentuan caleg terpilih agar penentuan caleg didasarkan pada perolehan suara terbanyak di suatu daerah pemilihan (Dapil).
Kedua, Daftar Pemilih Sementara (DPS). Data daftar pemilih yang belum akurat dan valid akan berpotensi terjadi masalah. Apabila masyarakat yang berhak ikut pemilu tetapi belum terdata cukup besar akan berpengaruh pada legitimasi pemilu itu sendiri termasuk legitimasi anggota DPR, DPD, maupun DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sebagai solusinya, KPU perlu memperpanjang masa pendaftaran pemilih. KPU perlu mengoptimalkan koordinasi dengan aparatur pemerintah sampai tingkat kelurahan dan desa bahkan sampai tingkat RT/RW guna memastikan setiap warga negara yang berhak ikut pemilih terdata sebagai peserta pemilih.
Ketiga, biaya pemilu yang mubazir. Menurut dia, apabila sosialisasi mekanisme pemilu tidak berjalan secara efektif yang berakibat kurangnya pemahaman masyarakat akan mekanisme pemilu maka biaya pemilu bisa mubazir. Selain mengurangi legitimasi hasil pemilu, juga berpengaruh pada pemanfaatan anggaran yang tidak efektif. Untuk itu, dia meminta KPU menyusun program dan tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu terutama sosialisasi pemilu kepada masyarakat secara terukur, efisien, dan efektif guna menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2009.
Keempat, hubungan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut dia, apabila KPU maupun KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota tidak merespons laporan pengaduan pelanggaran Pemilu oleh Bawaslu (Panwas di Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota ) akan berpotensi terjadi konflik lembaga antara Bawaslu dan KPU.
B. Analisis Permasalahan Seputar Pemilu Pasca Reformasi
Sebuah sistem merupakan sebuah keseluruhan yang saling berinteraksi di dalamnya, di mana terdiri atas sub-sub sistem. Jadi sebagai sebuah keseluruhan, sistem politik Indonesia perlu adanya sebuah evaluasi ulang atas fungsi-fungsi lembaga berdasarkan aturan yang telah ada. Proses input sebuah kebijakan haruslah kebutuhan mendasar sebuah masyarakat. Sehingga proses yang berjalan merupakan transformasi nilai-nilai kemanusiaan. Bukan berarti menafikan bahwa akan ada benturan kepentingan di dalamnya, akibat begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang menjadi pengemis akibat keganasan sebuah rezim yang ‘menyulam’ lidah-lidah rakyat dengan benang sutra.
Reformasi yang terjadi pun adalah sebuah negosiasi kekuasaan elit lama yang merasa kecewa atas seniornya, sehingga regulasi yang berjalan harus dibayar dengan kelaparan di berbagai daerah. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, reformasi yang terjadi juga sebuah keniscayaan yang tidak pernah diharapkan akan seperti ini. Politisi terperangkap pada keistimewaan akan dirinya sehingga tidak lagi menganggap rakyat adalah bagian dari dunianya, yaitu politisi sebagai pelayan bagi rakyatnya.
Masa sekarang ini pun sistem politik Indonesia masih mengalami krisis yang memprihatinkan. Pasca reformasi yang harapannya akan ada format baru bagi dunia politik ternyata mengalami kebuntuan. Hal ini dapat dilihat dari partai politik yang menjadi bangunan dasar demokrasi, belum mampu untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Perubahan yang terlihat hanyalah pada kuantitas partai, tapi masih menggunakan pola lama, artinya belum ada perubahan yang mendasar dari reformasi yang dicita-citakan.
Sistem politik ini merupakan bagian dari sebuah sistem yang besar, sehingga hal ini berimbas pada sektor yang lain. Sehingga dibutuhkan pendidikan politik agar partisispasi politik yang tercipta oleh masyarakat itu menjadi pilihan – pilihan rasional yang berkualitas
Legitimasi yang hadir saat ini adalah semu, karena tampil sebagai topeng, rezim yang hadir pun hanya menjadikannya tiket menuju kelas yang lebih tinggi, setelah sampai ditujukan dengan mudah untuk membuangnya ke dalam keranjang sampah. Kondisi yang seperti ini terjadi tidak lain akibat pengetahuan masyarakat yang masih kurang terhadap politik. Pemahaman atas politik masih jauh dari harapan para filosof, sementara ilmu politik begitu dinamis dan terus berkolaborasi dengan konteks budaya yang ada.
Keberagaman budaya yang ada pada bangsa kita sangat berpengaruh pada perangkat politik yang ada pula, perangkat politik yang sangat penting adalah partai politik yang melakukan adaptasi sebagai jawaban atas tantangan modernitas. Oleh karena itu dibutuhkan partai yang modern pula mengingat kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Bukan hanya itu partai pulalah yang harus menggantikan tanggung jawab negara untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat luas.
Sudah saatnya partai politik menebus budi atas suara yang telah diberikan padanya oleh rakyat, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk menuju kemakmuran bersama. Kemudian tantangan yang kedua adalah, partai politik harus belajar untuk mandiri dalam banyak hal, mengingat kondisi bangsa yang carut-marut.
Banyaknya bencana kemanusiaan yang melanda bangsa ini, seharusnya partai politik memperlihatkan eksistensinya pada rakyat, bukan hanya pada momen tertentu saja. Dari sini dapat dikatakan bahwa partai politik belum mampu menjalankan fungsinya di dalam masyarakat. Oleh karena dibutuhkan kedinamisan maupun keseimbangan komponen-komponen yang ada dalam sebuah sistem, maka komponen-komponen tersebut harus menjalankan fungsinya dengan baik. Sistem ini pun tidak terlepas dari pengaruh yang hadir dari luar.
Pendidikan politik yang adil serta memanusiakan manusia adalah cita-cita kemakmuran itu, dan sebagai sebuah sub-sistem dari sistem yang lebih besar, yaitu dunia politik yang humanis telah menjadi kebutuhan yang meniscayakan sebuah bangsa yang kuat.
Perlu diingat bahwa pendidikan politik itu bukan hanya pada masyarakat saja, tapi juga bagi elit politik sebagai pemegang peran penting dalam sebuah kebijakan. Hal ini menjadi sangat penting melihat realitas politik yang ada di Indonesia bahwa elit yang hadir bukanlah orang-orang yang begitu paham dengan politik. Sehingga kebijakan yang lahir pun tidak lagi menjadi alat untuk mensejahterakan rakyat, tapi sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan.
C. Langkah Solutif Penyelesaian Masalah Pemilu
Salah satu hal yang paling urgen dari proses pelaksanaan pemilu adalah pada aspek penegakan aturan pemilu. Belajar dari pengalaman pemilu Indonesia sebelumnya, Pemilu 2004 mendatang, akan banyak terjadi pelanggaran. Mengingat jumlah kontestan pemilu yang lebih banyak maupun tingkat apresiasi konstituen yang secara tidak langsung telah terpolarisasi ke dalam politik aliran. Hal ini dapat berakibat pada berkuranganya dukungan terhadap hasil pemilu.
Untuk mengantisipasi munculnya kondisi demikian, maka penyempurnaan instrumen pengawas dan lembaga penyelesaian pelanggaran merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu maka draft RUU Pemilu memberikan ruang secara khusus untuk membahas masalah Pengawasan, Penegakan Hukum dan Pemantauan Pemilu. Dalam hal pengawasan, teknis pelaksanaannya diserahkan pada kewenangan KPU sebagai penyelenggara. Kemampuan KPU untuk mengawasi dirinya sendiri merupakan satu keraguan yang muncul dalam benak masyarakat pada umumnya dan secara khusus adalah para peserta pemilu itu sendiri.
Persoalan bagaimana penegakan hukumnya, RUU memberikan tugas kepada pengadilan dalam lingkup peradilan umum. Tetapi mengenai bentuk dan bagaimana kaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, draft tersebut tidak memberi jawaban tegas.
Begitu pula dalam hal pemantauan. RUU Pemilu yang saat ini tengah digodok Panitia Kerja DPR, tidak memberikan penjelasan mengenai seberapa jauh kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga pemantau pemilu terutama kaitannya dengan masalah ketika terjadi pelanggaran yanng dilakukan oleh para peserta pemilu tergadap Undang-undang Pemilu nantinya. Padahal persoalan penegakan hukum seharusnya diatur secara tuntas di dalam Undang-undang itu sendiri. Hal ini untuk menghindari adanya penumpukan kewenangan pada salah satu lembaga yang berkait dengan pelaksanaan pemilu.
Merealisasikan ide keadilan dalam kehidupan masyarakat, restorasi dan rehabilitasi kondisi sosial, dan melindungi korban dan pelaku dari penderitaan yang eksesif adalah tujuan dari penegakan hukum pada umumnya. Dalam Pengadilan Pemilu ini ditambahkan pertimbangan tentang signifikansi pemilu dan hasil pemilu terhadap kelangsungan kehidupan bernegara. Dengan demikian masalah pengadilan pemilu merupakan hal yang penting untuk mendapatkan perhatian dalam kaitannya dengan pembahasan RUU pemilu.
Pendidikan politik, penanaman pendidikan moral, serta supremasi hukum akan sangat berpengaruh dalam perbaikan pelaksanaan pemilu dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. KesimpulanPENUTUP
Menilik perjalanan panjang dinamika eksistensi partai politik yang menjadi “peserta” dalam pemilihan umum sejak tahun 1955 hingga sekarang, khususnya sejak reformasi dikobarkan pada tahun 1998 memperlihatkan warna yang sangat menarik untuk dibahas. Dari pemilu yang satu ke pemilu selanjutnya, kehadiran sejumlah partai politik semakin meniscayakan bahwa ruang politik dan kebebasan semakin diagung – agungkan dan mendapat ruangnya masing – masing untuk seluruh masyarakat. Namun, sayangnya dari kemerdekaan tersebut justru melahirkan problematika – problematika baru, misalnya saja sejumlah kecurangan – kecurangan pemilu. Hal ini seharusnya mendapat perhatian lebih untuk dicarikan solusinya. Misalnya pemerataan pendidikan politik, penanaman nilai – nilai moral, serta supremasi hukum.
B. Harapan
Semoga dengan hadinya makalah ini dapat memberikan pencerahan pada kita semua untuk turut memahami perjalanan parpol dalam pemilu di Indonesia, dan memberikan kesadaran pada kita untuk membangun kesadaran partisipatif untuk bersama - sama membenahi kekeliruan – kekeliruan yang terjadi dikehidupan perpolitikan kita. Selain itu, agar kiranya partai – partai politik dapat menyadari dan dapat kembali pada hakikat dari tujuan awal berdirinya, yakni demi kepentingan rakyat.
0 comments:
Posting Komentar