BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ranah pemikiran keislaman secara mengglobal, maka sosok Jalaluddin Rumi menjadi suatu sosok Islam yang sangat terkenal dengan puisi – puisi religiusnya yang sangat menginspirasi bagi para penikmat tulisannya, dan berbicara Islam dalam konteks keIndonesiaan, kita dapat melihat pada sosok Nurcholish Majid yang merupakan salah satu sosok paling fenomenal dan legendaris sepanjang sejarah pemikiran keislaman. Dengan berbekal pengalaman dan pengetahuan yang mendalam ia mampu memproduksi ide-ide cemerlang tentang konsep-konsep dan berhasil mengkolaborasikan antara pemikiran-pemikiran konservatif dengan pemikiran-pemikian kontemporer. Dengan demikian Nurcholish Majid telah mewariskan kepada umat islam sebuah ensiklopedia pemikiran yang sangat kaya yang diramu dari berbagai peradaban umat manusia.
Sebuah hal yang tidak berlebihan kiranya, sehingga penulis dalam makalah ini mengangkat pemikiran – pemikiran serta karya – karya dua tokoh pemikir keislaman tersebut jika kita menyibak hal di atas. Dua pemikiran tentang Islam yang menyentuh dan tentang islam yang plural. Dua pemikiran yang memiliki sudut pandang tinjauan masing – masing dari dua tokoh yang hidup dan bertumbuh di zaman yang berbeda.
Hadirnya makalah ini, berusaha untuk kemudian mengangkat dua pemikiran tersebut, yang kiranya akan mampu menginspirasi kita semua guna menjadi hamba yang lebih baik dihadapan Sang Pencipta.
B. Rumusan Masalah
Terdapat dua poin penting yang akan Penulis jewantahkan dalam pembahasan makalah ini, yang garis besarnya akan menyangkut pada “bagaimana bentuk pemikiran tokoh Jalaluddin Rumi dan Nurcholis Madjid dalam memaknai keberislaman serta apa dedikasi atau karya – karya besar yang telah mereka lahirkan bagi sepanjang perjalanan hidupnya serta bagi kehidupan orang – orang banyak?”.
C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai berkaitan dengan masalah yang telah Penulis rumuskan di atas, yakni Kita, dan terkhusus bagi Penulis sendiri, dapat mengetahui, memahami, dan menjadikan refrensi bagi peningkatan kualitas hidup dari bentuk pemikiran tokoh Jalaluddin Rumi dan Nurcholis Madjid dalam memaknai keberislaman serta apa dedikasi atau karya – karya besar yang telah mereka lahirkan bagi sepanjang perjalanan hidupnya serta bagi kehidupan orang – orang banyak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Tokoh
1. Jalaluddin Rumi
Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau sering pula disebut dengan nama ”Rumi” adalah seorang sufi|penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi seorang cendekia yang saleh, mistikus yang berpandangan ke depan, seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan alhi matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan.
Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu.
2. Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Dari kedua orang tuanya, dia mewarisi darah intelektualisme dan aktivisme dua organisasi besar Islam di Indonesia yang sangat berpengaruh yaitu Masyumi yang “modernis” dan Nahdlatul Ulama (NU) yang “tradisionalis”.
Nurcholish memperoleh pendidikan dasarnya di Madrasah al-Wathaniyyah yang diasuh oleh ayahnya. Kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di Pesantren Dar al- `lum, Jombang. Pesantren ini salah satu pusat penting kaderisasi tradisionalisme Islam NU. Karena merasa tidak puas, dia kemudian minta kepada ayahnya untuk dipindahkan ke Pondok Modern Gontor di Ponorogo, Jawa Timur. Sebuah pesantren modern yang aspirasi keIslamannya lebih dekat kepada modernisme Islam Masyumi.
Tahun 1962, Nurcholish hijrah ke Jakarta, untuk melanjutkan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Jakarta (Sekarang Universitas Islam Negeri). Saat kuliah di IAIN ini dia mulai berkiprah di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa (HmI), yang didirikan pada tahun 1947. Dia menyelesaikan studi kesarjanaan IAIN Jakarta tahun 1968. Kemudian tokoh HmI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiya.
Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain, menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa meniti jalan pembaruan.
Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi.
B. Pemikiran Keislaman Tokoh
1. Jalaluddin Rumi
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648. Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan cepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam
agama samawi, bisa menjadi goyah. Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan
yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidakterikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.”. Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.
2. Nurcholis Madjid
Lahirnya gagasan pluralisme agama merupakan sebuah refleksi dari pembacaan panjang Nurcholis Majid terhadap fakta sejarah kemajuan umat beragama yang sering kali menampilkan pemandangan yang menghayat dan traumatik. konflik, kekerasan, dan perang atas dasar kebencian yang diwarnai sentimen agama begitu tampak. Semisal dalam negeri sendiri di Sulawesi antara umat Islam dan Kristeni yang terus berkepanjangan. atau diluar negeri semisal konflik Katolik dan Islam di Filipina, Konflik Palestina – Israel,Hindu versus Islam di India dan lain sebagainya.
Sebagai sebuah konsep keagamaan yang mendasar, tentu dalam menggagas dan melontarkan ide pluralisme agama Nurcholish Majid mempunyai pijakan berfikir dan landasan normatif yang kuat dan capable. Dalam hal ini Nurcholish Majid bertendensi dengan firman Allah dalam surat Ali-Imran Ayat 64 dan 19. Artinya : Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." Artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
Namun Cak Nur tidak memaknai pluralisme sebagai gagasan yang menganggap semua agama sama, seperti anggapan orang awam. Pluralisme bagi Cak Nur adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan bijaksana. Pluralisme menurut rumusan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid) merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam. “Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil”, tandasnya. “Dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca, membina, belajar, dan selalu arif.”
Pandangan pluralis Cak Nur tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik. Menurut dosen Paramadina, masih banyak kalangan yang menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama. Bahkan tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad.
Sikap seperti itulah yang nampaknya diyakini oleh mayoritas ulama yang ada di MUI (Majelis Ulama Indonesia). Hingga mereka pun terdesak untuk mengeluarkan fatwa tentang haramnya pluralisme. Pengharaman terhadap gagasan tersebut dinilai oleh Monib bukan tanpa konsekwensi. Fatwa anti pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI berdampak luas dalam memengaruhi cara pandang masyarakat yang semakin kuat untuk memusuhi dan menolak kelompok lain agama atau kepercayaan. Hal itu terbukti dengan sikap penolakan masyarakat yang semakin lantang terhadap keberadaan Jama’ah Ahmadiyah yang juga difatwakan oleh MUI sebagai aliran sesat.
Sementara itu bagi Miftah, salah seorang pengelola IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait) aksi kekerasan yang menimpa Ahmadiyah itu dikhawatirkan akan menimpa syiah. Karena syiah juga banyak ditentang oleh sebagian masyarakat. Pada masa-masa seperti sekarang inilah kita semakin merindukan sosok Cak Nur, tegasnya. “Ia selalu membela komunitas yang minoritas dan termarginalkan.”
Lebih lanjut dosen IAIN Sunan Gunung Djati itu menjelaskan sikap Cak Nur terhadap pluralisme. “Cak Nur selalu membedakan antara pluralitas dan pluralisme”, tandasnya. “Pluralitas bagi guru besar UIN Jakarta itu adalah keragaman hidup yang telah menjadi sunnatullah. Sedangkan pluralisme merupakan suatu sikap kejiwaan dan kedewasaan mental dalam menerima keragaman itu. Yang ditekankan pada pluralisme Cak Nur adalah sebuah sikap mental dan kedewasaan untuk bisa menerima perbedaan, karena tidak semuanya bisa menerima perbedaan”, tegasnya. “Dan apabila seseorang tidak dapat menerima pluralisme, itu karena pemahamannya yang belum dewasa.”
Meski Cak Nur banyak dinilai orang sebagai seorang pluralis sejati, tapi bagi mantan pengurus Muhammadiyah, Dawam Raharjo, Cak Nur bukanlah seorang pluralis. “Ia lebih tepat disebut sebagai seorang inklusif, bukan pluralis”, tandasnya dalam forum itu. Menurut tokoh Muhamadiyah yang berpikiran liberal ini, seorang pluralis bukan sekadar orang yang menerima perbedaan terhadap kebenaran agama yang berbeda. Tapi lebih jauh ia juga harus mempelajari kebenaran agama-agama lain dengan sikap yang adil.
Dawam menilai Cak Nur masih memandang semua agama sebagai cahaya, tetapi cahaya yang paling terang adalah Islam. Selain itu ia juga terjebak pada anggapan bahwa agama samawi lebih unggul dari agama bumi. Karena agama samawi diyakini sebagai agama pemberian Tuhan kepada manusia.
Cak Nur, lanjut Dawam, merupakan seorang teolog muslim dengan acuan Qur’an dan Sunnah (lebih khusus pada Qur’an). Dan dengan ide tauhidnya yang keras Cak Nur telah bersikap kurang adil. Di sinilah keterbatasan Cak Nur yang menurut Dawam belum sepenuhnya pluralis, tetapi baru sebagai seorang teolog inklusif. “Untuk menjadi pluralis, seseorang harus mempelajari agama-agama lain, sementara Cak Nur tidak pernah mempelajari agama-agama lain.”
C. Karya / Dedikasi Tokoh Sepanjang Hidupnya
1. Jalaluddin Rumi
Kumpulan puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio. Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai.
Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.
Rumi ialah seorang penyair sufi yang prolifik. Menurut A. J. Arberry beliau menulis kurang lebih 34.662 bait puisi dalam bentuk ghazal (diwan), ruba`i dan mathnawi.
Di samping itu beliau juga menulis beberapa risalah tasawuf berdasarkan khutbah-khutbah yang disampaikan kepada murid-muridnya dan penduduk Qunya. Karya-karya Rumi yang terkenal ialah:
a. Diwan-i Shamsi Tabriz (Sajak-sajak Pujian Kepada Shamsi Tabriz).
Antologi ini terdiri daripada 36.000 bait puisi, sebahagian besarnya berbentuk ghazal. Dalam setiap maqta` (bait akhir) Rumi selalu mencantum nama Shamsi Tabriz sebagai pengganti nama dirinya. Nampak bahawa dalam Diwan-nya itu Rumi, sebagai penyair, mengidentifikasi dirinya dengan guru spiritualnya. Sebahagian besar sajak dalam antologi ini ditulis pada ketika penyairnya mengalami ekstase kerohanian. Sajak-sajak dalam Diwan sangat muzikal dan kaya akan ritme, sedangkan image-imagenya sangat hidup. Pengaruh ekstase dan tarian mistikal Tarikat Maulawiyah besar terhadap sajak-sajak dalam buku ini. Kerana penyairnya menumpukan perhatian pada makna, maka ghazal-ghazal dalam Diwan banyak yang menyimpang daripada prosodi dan metrum ghazal konvensional.
b. Mathnawi-i Ma`nawi
Kitab ini disebut juga Husami-namah (Kitab Husam). Apabila Diwan-i Shamsi Tabriz diilhami oleh Shamsi Tabriz, Mathnawi ditulis untuk memenuhi permintaan Husamuddin, salah seorang murid Rumi. Husamuddin meminta gurunya agar bersedia memaparkan rahsia-rahsia ilmu tasawuf dalam sebuah sebuah karya sastera seperti Hadigah al-Haqiqah karya Sana`i dan Mantiq al-Tayr karya Fariduddin `Attar. Buku ini dikerjakan selama 12 tahun, dibahagikan kepada 6 jilid, terdiri daripada 35.700 bait sajak. Terjemahan dalam bahasa Inggeris tebalnya 2000 muka surat. Abdurrahman Jami, penulis sufi abad ke-15 menyatakan bahawa Mathnawi-i Ma`nawi merupakan Tafsir al-Qur`an dalam bahasa Persia (Hast Qur`an dar zaban-i Pahlavi). Yang dimaksud tafsir di sini ialah ta`wil atau tafsir spiritual terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang ditulis dalam bentuk prosa-puisi yang indah atau mathnawi. Buku ini dipandang oleh para penilai sebagai karya sastra sufi terbesar sepanjang zaman. Nilai didaktik dan sasteranya amat mengagumkan. Setiap jilid memuat pendahuluan dalam bahasa Arab, dan selanjutnya Rumi menggunakan bahasa Parsi. Rumi menghuraikan luasnya lautan semangat kerohanian dan perjalanan manusia menuju dunia dan daripada dunia menuju kebenaran hakiki.
c. Ruba`iyat
Walaupun tidak masyhur sebagaimana kedua-dua karya Rumi di atas, namun sajak-sajak dalam buku ini tidak kurang indah dan agung. Ruba-iyat terdiri daripada 3.318 bait puisi. Melalui bukunya ini, sebagaimana melalui sajak-sajaknya dalam Diwan, Rumi menunjukkan diri sebagai penyair lirik yang agung.
d. Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya Ada Seperti Yang Ada Di Dalamnya)
Himpunan percakapan Rumi dengan rakan-rakan dan murid-muridnya. Buku ini kaya dengan hikmah dan membicarakan persoalan-persoalan yang dipertanyakan oleh murid-murid atau sahabat-sahabat dekat Rumi tentang berbagai perkara kemasyarakatan dan keagamaan.
e. Makatib
Himpunan surat-surat Rumi kepada sahabat-sahabat dekatnya, terutamanya Shalaluddin Zarkub dan seorang menantu perempuannya. Dalam buku ini Rumi mengungkap kehidupan spiritualnya sebagai seorang penempuh jalan kerohanian. Di dalamnya juga terkandung nasihat-nasihat Rumi kepada murid-muridnya berkenaan perkara-perkara praktikal dalam jalan tasawuf.
f. Majalis-i Sab`ah
Himpunan khutbah Rumi di masjid dan majlis-majlis keagamaan.
2. Nurcholis Madjid
Menurut hasil penelitian Charles Kurzman (1998) ia mengkatagorikan Cak Nur sebagai tokoh islam liberal karena Cak Nur disejajarkan dengan Muhammad Iqbal dan kawan-kawan karena garis perjuangannya banyak diilhami gagasan Fazlur Rahman, yang kita kenal sebagai pemrakarsa gagasan progresif tentang neo-modernisme Islam, dan bila melihat latar belakang pendidikan yang ditempuh oleh Cak Nur. Ia pernah belajar di barat yaitu di Universitas Chicago AS (1984), jadi Cak Nur pasti dipengaruhi walaupun hanya sedikit. Cak Nur dilahirkan dari lingkungan pesantren dan menjadi representasi-istilahya sendiri- "santri yang canggih", yaitu sosok santri terpelajar, memahami kompleksitas dunia modern, dan mengerti bagaimana sebagai seorang Muslim hidup di dunia modern. Hal ini menjadi concern utamanya. Menurutnya, umat Islam harus disiapkan secara teologis memasuki dunia modern, terutama berhadapan dengan isu-isu pemikiran baru atau modern. Keseimbangan ini berarti menggabungkan khazanah tradisi keagamaan yang kaya, yang dikuasai kaum santri, dengan khazanah modern yang dikuasai golongan modernis. Ungkapan bahasa Arab yang sering dipakai sebagai visi Islam di Indonesia yang ia mimpikan adalah tercapainya sintesis kaum modernis dan tradisionalis (maksudnya Muhammadiyah atau Masyumi, dan NU), di mana mereka akan bersama bekerja secara kreatif untuk "mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik". Visi inilah yang disebutnya "neomodernis".
Beberapa peranan yang pernah diembannya dalam perjalanan karirnya, antara lain :
• Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992–1997
• Anggota Dewan Pers Nasional, 1990–1998
• Ketua Yayasan Paramadina, Jakarta 1985–2005
• Fellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia, Amerika Serikat, 1990
• Anggota Komnas HAM, 1993-2005
• Profesor Tamu, Universitas McGill, Montreal, Kanada, 1991–1992
• Wakil Ketua, Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), 1990–1995
• Anggota Dewan Penasehat ICM, 1996
• Penerima Cultural Award ICM, 1995
• Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998–2005
• Penerima Bintang Mahaputra, Jakarta 1998
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Jalaluddin Rumi
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648. Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran.
2. Nurcholis Madjid
Cak Nur tidak memaknai pluralisme sebagai gagasan yang menganggap semua agama sama, namun Pluralisme bagi Cak Nur adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya termasuk agama. Pandangan pluralis Cak Nur tampaknya dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik. Menurut dosen Paramadina, masih banyak kalangan yang menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama. Bahkan tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad.
B. Harapan
Semoga dua pemikiran dari tokoh islam tersebut dapat menjadi inspirasi tersendiri bagi kita dalam memaknai hidup dan “kehidupan setelah hidup” guna menjadi insan yang memiliki kualitas diri yang semakin lebih baik.
0 comments:
Posting Komentar